Kini hampir tiap hari kulihat dia sendiri. Hampir tiap hari juga dia kami tinggalkan sendiri. Duduk sendiri di pojok kantin itu, dia selalu duduk sendiri. Dia tidak pernah sekalipun ingin mendekat ke kelompok kami. Kini setelah ia tidak lagi memiliki teman – teman kerja sesama wanita yang seusia dengannya, aku berusaha untuk menghampirinya. Aku ingin dia tahu dia masih ada aku yang akan ada untuk dia walaupun dia tidak punya teman wanita untuk ia ajak bertukar pikiran seperti dulu.
Walaupun aku tahu typical wanita seperti apa dia, tapi aku berusaha untuk selalu bisa dekat dengannya. Duduk dekat dengannya. Hanya ingin berada di dekatnya. Aku temannya sejak dulu hingga sekarang. Ia seharusnya lebih mengenalku sekarang apalagi setelah sepeninggal teman – teman wanitanya karena sudah tidak betah lagi berada di bawah naungan perusahaan tempat kami bekerja.
Tapi mengapa dia selalu begini? Jika aku mendekati meja tempat ia duduk, aku meraih tempat duduk dan duduk dihadapannya, kenapa ia selalu beranjak berdiri dan melangkah pergi tanpa menatapku sedikitpun? Mengapa ia selalu menghindar dariku? Mengapa sikapnya selalu frigid, angkuh, sombong seperti ini jika aku berusaha mendekatinya? Mengapa ia tidak mau kudekati? Apa salahku kepadanya selama ini? Mengapa dia akan menghindar dan tidak mau membaur bersama kami walaupun kami sebagian besar adalah pria tapi kami adalah rekan – rekan kerjanya. Mengapa ia tidak pernah sekali pun ingin mendekat. Apakah pembicaraan para pria tidak pernah sedikitpun membuatnya merasa nyaman. Mengapa dia seperti ini? Ia sama sekali tidak mau berbagi kisah, keluh kesah, kekesalannya apapun yang ia rasakan.
Aku tahu dia pasti merasakan hal itu. Walaupun ia terlihat kuat di hadapanku, selalu bisa mengatasi masalahnya sendiri, selalu bisa berbagi gagasan, namun aku tahu sebenarnya dia juga rapuh. Mengapa sekarang aku merasakan dia bukan lagi orang yang kukenal dulu? Dulu dia akan selalu membantu dan berbagi gagasan dalam pekerjaan. Aku merasakan keberadaan dia bukan saja sebagai senior tapi juga partner kerja. Walaupun dia adalah seniorku tapi itu bukanlah suatu alasan aku tidak bisa mengenal dia lebih dekat, lebih personal.
Mengapa aku merasa begitu nyaman bersama dia? Mengapa bersama dia aku merasa lebih nyaman ketimbang bersama pacarku? Kelebihan apa yang ia miliki sehingga membuatku merasa lebih nyaman bersamanya? Parasnya tidaklah cantik, dia tidak tinggi semampai, dia tidak berkulit nan halus bak sutra dan putih laksana susu, dia tidak memiliki kesempurnaan paras dan elok seperti yang dimiliki pacarku?
Tetapi bukan itu yang membuatku begitu penasaran kepadanya. Bagiku dan juga bagi semua pria di perusahaan ini, dia adalah wanita sombong, judes, egois, sinis tetapi dia selalu focus dan serius pada pekerjaan. Tetapi dibalik itu aku melihat dia memiliki kelebihan yang benar – benar harus ku akui; selama ini dia membuatku merasa nyaman bersamanya, selama ini dia membuatku merasa aman bersamanya, selama ini dia membuatku bersemangat.
Serious kuakui, dia benar - benar membuatku tertantang dan tergoda untuk bisa menaklukkannya. Mengapa aku selalu tertantang untuk bisa menaklukkannya?
Bagiku, dia yang kukenal sebagai sosok wanita yang sangat perhatian dan peduli terhadap sesama rekan kerja. Aku tahu dia sedikit lamban dan juga tidak sepintar Einstein dalam hal tertentu namun hal itu tertutupi dengan kecerdasan yang dia miliki, keseriusan kerja serta tanggap dalam banyak hal. Ia selalu ingin tahu dan selalu merasa kalau dia masih saja merasa bodoh dan perlu banyak belajar. Dia paling tidak suka kemampuannya diremehkan, dimana hal itu suatu ketika malah akan membuatnya terpacu untuk menjadi lebih pintar dan memiliki kemampuan lebih dari siapa pun yang meremehkannya. Di mataku, dia tipe wanita pejuang, yang celakanya benar - benar aku suka.
Ia adalah orang yang menjadi semangatku tiap pagi, tiap hari, tiap saat. Mengapa aku selalu ingin bertemu dengannya melebihi keinginanku bertemu dengan pacarku? Mengapa aku selalu merindukannya, melebihi kerinduanku bertemu pacarku? Mengapa perasaan nyaman bersamanya tidak bisa kurasakan saat bersama pacarku? Mengapa ada perasaan lain yang benar – benar berbeda yang kurasakan apabila dia tidak ada disekitarku. Kerinduan mendalam seandainya ia tidak hadir, tidak ada di sekitarku. Mengapa sikapnya berubah sama sekali terhadapku? Apakah ia masih memendam marah atau kecewa padaku? Apakah aku telah salah menyatakan perasaanku selama ini kepadanya? Apakah saat itu bukan hal yang tepat bagiku untuk menyatakan dan mengutarakan perasaanku?
Masih ada banyak pertanyaan yang berkecamuk dan berputar - putar di benakku yang mungkin menbuatnya menjauhiku. Apakah aku telah salah memendam perasaan terhadapnya lebih dulu? Apakah pernah dia menyadari perasaan yang kurasakan? Apakah salah jika pada saat yang bersamaan aku juga mengenal wanita lain? Apakah salah jika aku juga menghabiskan waktu bersama wanita lain? Apakah salah jika suatu ketika aku mencium wanita lain tanpa kusengaja? Apakah salah jika wanita itu menyatakan perasaannya terlebih dahulu kepadaku? Apakah salah seandainya aku mencurahkan dan menceritakan semua ini terhadap dia di keesokkan harinya? Apakah salah jika aku juga menyatakan perasaanku yang sebenarnya kepada dia? Apakah dia merasa sakit hati dan kecewa dengan semua yang telah aku utarakan kepadanya? Apakah dia merasa sakit hati?
Apakah dia memiliki perasaan yang sama terhadapku? Apakah dia benar – benar serius menolakku? Apakah dia tidak mempercayai aku lagi? Apakah salah kalau penolakkannya malah mengantarku menerima wanita lain dalam hidupku? Apakah sebenarnya dia hanya ingin mengujiku kala itu? Apakah salah seandainya kemudian aku ingin menumpahkan kekesalanku dan membuatnya cemburu? Apakah kecemburuannya menjauhkan dirinya dariku?
Keraguan masih membayangiku. Kini aku sudah bersama dengan yang lain. Tapi hal ini juga dia yang telah menyarankannya padaku. Bukankah dia yang mengatakan kalau dia tidak ingin bersamaku dan supaya aku menjalani hidup bersama wanita itu.
Sehari, dua hari, tiga hari, bahkan berhari – hari, berminggu – minggu, berbulan – bulan, perasaanku masih tidak menentu, perasaanku masih tertuju padanya, perasaanku sama sekali tidak tertuju pada pacarku. Mengapa aku masih ingin bersamanya? Mengapa kini aku ingin selalu berada di dekatnya? Mengapa kini aku bahkan ingin merengkuhnya? Mengapa aku ingin memeluknya? Mengapa aku ingin menciumnya? Apakah salah kalau ternyata aku masih menyimpan perasaan itu?
Aku masih merasakan kerinduanku kepadanya dan tidak pernah bisa melupakannya. Bolehkah aku merasakan perasaan itu kepadanya? Bolehkah aku masih menginginkannya? Bolehkah aku memeluknya? Bolehkah aku mencicipi bibirnya walau hanya sekali? Apakah dia akan memberikan kesempatan itu sekali saja?
Aku tidak tahu kenapa susah sekali untuk membuatnya percaya setelah semuanya terjadi. Aku tidak tahu bagaimana membuatnya mempercayaiku lagi. Aku tidak tahu kenapa sulit untuk melumerkan hatinya yang tiba – tiba membeku secepat itu? Tidak adakah kehangatan dan keakraban antara kami itu bisa kurasakan sehari saja, hingga benar – benar melumerkan kebekuan itu selamanya.
Siang itu masih kulihat ia duduk sendirian, seperti biasa di pojok itu, menikmati santap siang dalam kesendirian. Ia sama sekali tidak menoleh walaupun ia menyadari aku menatapnya. Ia pasti masih marah padaku. Tapi apakah aku melakukan suatu kesalahan? Tapi bukankah dia juga yang telah menyarankan hal ini? Tapi kenapa aku merasa bersalah dan malu kepadanya.
Kini, tiap kali kudekati dia saat jam kerja, dia akan menjawab dengan sangat singkat, padat dan jelas. Tanpa tambahan gurauan, tanpa basa – basi. Begitu sinis. Apakah begitu bersalahnyakah aku baginya?
Namun seperti hari ini, saat dia dalam masalah pelik dalam kerja, dia selalu tampak tegar, tidak muram namun benar – benar diam. Aku tahu sebenarnya dia ingin menumpahkan perasaan sedih dan marahnya menjadi tangis seperti yang dulu pernah ia lakukan dalam sepi walaupun tak ada orang lain yang tahu selain aku. Ia benar – benar rapuh. Wanita kuat namun sebenarnya sangat rapuh.
Aku masih berdiri termangu menatap ia melangkah ke ruangan dimana dia yang dulu pernah tanpa sengaja melihat kebodohannya. Mengapa karena ingin menghindariku dia membalaskan hal itu padaku? Kenapa ia mencium pria itu? Kenapa ia begitu bodoh?
Mengapa dia melakukan tindakan konyol itu?
Apakah karena dia menyukai pria itu?
Apakah dia benar – benar punya perasaan terhadap orang itu? Apakah dia benar – benar mencintai pria itu?
Apakah pria itu jauh lebih baik dariku? Aku tidak suka dia bersamanya! Aku benci dia dipelukannya, aku benci dia diciumnya. Bahkan, aku juga benci telah melihatnya!
Amarahku memuncak yang benar – benar ingin menghempaskannya untuk sebuah jawaban, apakah ini merupakan sebuah pembalasan padaku? Aku tahu sebenarnya dia memiliki perasaan yang sama denganku, aku bisa melihatnya dari cara dia memandangku, menatapku, memperhatikanku dalam kesendiriannya, terlalu sering bisa kurasakan.
Kini, setelah pria itu benar – benar tidak lagi berada di bawah naungan perusahaan ini, aku benar – benar harus mendapatkan sebuah jawaban dari dia. Aku memberanikan diri walaupun nantinya dia akan menghindar bahkan menolakku lagi. Setidaknya sudah kuusahakan.
Keluar kantor dan menuruni tangga menuju basement hingga tiba di ujung koridor dan berhenti di depan sample room. Ada sebuah meja usang dan dia menghampiri kemudian duduk. Aku memperhatikannya dibalik tembok. Dia bergeser dan duduk dengan dagu tertumpu pada lutut. Ia menenggelamkan wajahnya dalam dekapan tangan dan lututnya. Bisa kudengar isakan tangisnya. Dia menangis, tetapi aku masih diam termangu, dalam persembunyianku. Cukup lama ia kubiarkan ia sendiri mendekap dirinya dan menumpahkan semua kekesalan dan sedihnya.
Dia memang tidak sekuat penampilannya. Setidaknya itu yang selama ini bisa terlihat di wajahnya.
Walaupun aku tak berhak menganggunya kali ini, tapi aku benar – benar ingin ada bersamanya saat ini, walaupun hanya sebentar. Perlahan aku melangkah mendekatinya. Aku masih berdiri bergeming, diam tanpa ingin mengganggunya, walaupun sebenarnya aku sudah mengganggunya. Sial, umpatku dalam hati. Dia pasti akan mencaci makiku kali ini karena ia tidak ingin aku ada di dekatnya. Masih bisa kulihat tubuhnya bergetar terisak. Ingin kubelai dan kusentuh dia. Tapi tak urung batinku itu hanya semakin menyiksaku saat berdiri masih menatapnya dan memandangnya saja tanpa bisa melakukan apa pun, setidaknya sesuatu yang bisa membuatnya tenang.
Ingin rasanya aku beranjak karena aku mungkin tidak dibutuhkan di sini, saat ini. Saat aku hendak berbalik dan beranjak pergi, tiba – tiba tanganku tercekat. Aku tersentak tetapi aku diam saja. Aku diam sejenak. Aku menunduk sambil menoleh ke arah samping bahuku. Tangannya terasa sedikit basah dan mengenggam erat tanganku. Sejenak bisa kurasakan ada aliran hangat yang menjalar dari tanganku hingga ke seluruh persendian tubuhku yang membuatku mulai merasa lemas, terasa ringan untuk tetap berada ditempat itu, diam tanpa gerak.
Aku berbalik. Kuraih tangannya perlahan dan kugenggam lembut. Tangan itu basah dan hangat. Dia masih terlihat menunduk diam. Wajahnya terbenam dibalik tirai rambut bob pendeknya yang terlihat acak-acakan.
Perlahan kemudian ia mengangkat wajahnya. Wajah yang semenjak pagi tadi terlihat berseri tanpa beban kini dalam sekejap telah berubah kuyu, mendung, kedua mata merah dan basah sembab . Ia menatapku dengan pandangan kosong. Ia masih terisak. Aku tidak tahu ada apa dengannya hari ini. Apakah dia sakit? Apakah masalah pekerjaan? Apakah masalah keluarga? Apakah masalah dengan kekasihnya? Tapi buru – buru semua itu kutepis karena aku tidak mau kebersamaan ini berlalu, untuk saat ini.
“Kau mau temani aku sebentar disini, sebentar saja. Tidak lama. Temani aku. Setelah itu kau boleh pergi. Setelah itu kau boleh tidak menghiraukanku. Tapi sekarang, kumohon kali ini, aku ingin kamu temani aku, sebentar saja?”, ujarnya lirih dengan nada yang parau. Dia masih terisak. Wajahnya semakin basah saat airmata itu kembali mengalir dan wajahnya semakin memerah dan matanya semakin sembab.
Tanpa menunggu perintahnya lagi, aku menghampirinya dan mendekapnya dalam dekapan tubuh kurusku. Aku duduk disebelahnya. Kudekap dia erat – erat dan kubiarkan dia tenggelam kembali. Dalam tangisnya. Kubiarkan dia terbenam dalam dekapanku, lama. “Menangislah jika itu bisa membuat perasaanmu lebih lega, lapang dan tenang.
Jangan sisakan emosi itu mengganjal, keluarkan semua kekesalan, marah dan sedihmu. Menangislah. Aku akan masih ada disini, bersamamu hingga kau benar – benar sudah merasa lega dan lebih tenang”. Lama kubiarkan dia menumpahkan tangisnya. Membuat tubuhku terasa semakin basah oleh airmatanya.
Namun tidak aku pedulikan. Asalkan aku tetap ada disana, bersamanya.
Cukup lama juga aku dan dia terpekur menunduk diam dihadapanku, begitu dekat hingga bisa kurasakan hangat nafasnya menghembus di wajahku yang semakin mengalirkan kehangatan dalam tubuhku mengalir dengan cepatnya. Tangisnya sudah mulai mereda. Kini yang tersisa adalah wajah basah, penuh keringat dan isak nafasnya yang terasa berat. Ia menyeka sisa airmatanya dengan sapu tangan merah yang kuberikan padanya.
“Sapu tanganmu jadi basah. Dan aku masih harus mencucinya karena disini masih tersisa semua kekesalan dan amarahku. Kamu tidak mungkin bisa membawanya pulang dengan keadaan kotor seperti ini”, katanya sambil sedikit bergurau dengan suara serak dan parau dan hidung yang terlihat semakin merah. Terlihat rona merah di pipinya saat pandangan mata kami bertemu. Aku menatapnya lekat – lekat. Wajahnya terasa begitu dekat dan bahkan terasa semakin dekat yang kemudian membuat aliran darah di seluruh pembuluh darahku semakin deras mengalirkan kehangatan yang timbul dari keadaan kami yang teramat sangat dekat ini.
Perlahan dan tanpa sadar kuraih tangannya dengan lembut dalam pelukanku. Dia diam masih menatapku dengan pandangan kosong tanpa ekspresi seakan menunggu sesuatu yang tanpa sadar bisa menghampirinya. Wajahnya terangkat perlahan dan menatapku kosong yang semakin membawaku hanyut kedalamnya, menghampiri, melayang dan tanpa sadar pun menyentuh pelan bibir sensual yang terasa agak gersang namun kini perlahan terasa semakin lembut dan lembab. Bibirnya menyambut bibirku. Belain lembut bibirku semakin dalam dan tanpa sadar aku sudah mengulumnya.
Namun aliran kehangatan itu terasa begitu cepat menjalar di antara pembuluh dan persendian disekujur tubuhku saat tanpa sadar tanganku meraihnya lebih dalam dan menenggelamkannya dalam tubuhku. Kedua tangannya pun silih berganti membelai pinggangku dan merayap lembut ke punggung kurusku dan yang kemudian membuatku semakin menariknya dalam dekapanku. Bibir dan mulut kami kian beradu. Tubuhnya yang sintal tenggelam dalam dekapan tubuh kurusku, sementara tanganku perlahan merayap di kedua tangannya silih berganti, kemudian perlahan naik dan mengelus pundaknya. Kehangatan itu kian kurasakan seiring belaian lembut bibirnya yang semakin memacuku. Kedua tanganku meraba leher yang membuatnya semakin tersentak dan tertahan tak bisa terlepas dari kunci bibirku. Tanganku membelai bahu lebarnya dan menguncinya seakan aku tidak mau melepaskan kebahagiaan yang mendekapku saat itu. Kepalanya terasa begitu kecil dalam satu dekapan tanganku yang lebar. Belaian bibir dan mulutku semakin kuat mencengkeram dirinya.
Tanpa sadar kedua tubuh kami telah pula saling menempel dan melekat. Bisa kurasakan aliran kehangatan tubuhnya menjalar dan memenuhi sekujur tubuhku. Tubuh kami saling melekat dan mendekap walau hanya terpisah selembar kain pakaian yang melekat ditubuh kami. Namun yang kurasakan adalah aliran kehangatan dan kebahagiaan saat belaian lembut bibir dan mulut hingga belaian lembut lidah basah kami yang sudah saling beradu dan menikmati keindahan dan kebahagiaan kami berdua, saat itu.
Aku belum pernah merasakan kebahagian seperti ini. Menciumnya adalah keinginan dan hasrat yang terpendam yang pernah kuidamkan selama ini. Penantianku akan kebungkamannya selama ini, benar – benar telah tertumpahkan dan ia telah benar – benar merasakan perasaan yang telah kupendam selama ini, yang saat ini semua itu melebur bersama dengan perasaan yang juga ia rasakan, aku benar – benar yakin akan hal itu.
Kami tidak peduli lagi dengan pakaian kami yang telah sama-sama kucel dan kusut. Kami hanya menumpahkan perasaan kami, berciuman dan bercumbu satu hari itu. Dia kekasihku, dia milikku, dia segalanya bagiku, saat kami bersama – sama kala itu.
Ia menatapku sambil tersenyum dan tanpa melepaskan pelukannya. Senyum bahagia dan menenangkan yang belum pernah kulihat menghias wajahnya selama ini. Aku membelai punggung dan pundaknya. Ku kecup bibirnya lembut dan ia membalasnya. Senyumku mengembang. “I love thee”, ucapku lirih. Kecupanku membelai bibirnya sekali lagi. Kutinggalkan dia melaju dan berpisah di simpang jalan.
Malam hari itu, aku benar – benar tidak bisa melupakannya. Aku tenggelam dalam keheningan malamku dan masih membayangkan kebahagiaanku saat itu. Dia seakan menghiasi dan memenuhi pelupuk mataku. Aku masih membayangkan kini ia benar – benar miliku, hingga mataku sama sekali tidak mau terpejam hanya membayangkannya. Saat jelang tidur aku teringat untuk memberikan ucapan selamat malam padanya. Kudengar sahut parau telpon di seberang sana namun aku tidak mau mengganggunya.
Mataku benar – benar berat namun aku merasakan kehadiran dia malam itu, benar – benar di sebelahku, di dekatku. Ia membelai wajahku dengan lembut. Tangannya terasa masih hangat namun tidak sehangat saat itu. Mungkin karena hawa yang begitu dingin malam ini. Mata kantukku masih bisa melihat paras ayu namun sederhana yang telah membuatku bahagia hari ini. Namun ia terlihat lebih cantik malam ini. Rambut pendek bob yang tersisir rapi dan gaun serba putih lembut yang ia kenakan, benar – benar cantik. Aku merasakan ketenangan dan kenyamanan saat memejamkan mataku yang sudah sangat mengantuk.
“Selamat malam dan selamat tidur juga. Aku sayang kamu”, ujarnya lirih. Tangannya membelai wajahku kemudian mengecup keningku. Dingin, dingin sekali kurasakan kecupan bibirnya.
Keesokkan harinya aku bangun dengan perasaan yang benar – benar membahagiakan. Saat bangkit dari pembaringan, kulihat sebuah sapu tangan merah yang kuberikan padanya kemarin, terlipat rapi di meja dekat pembaringan.
Ku pegang dan bisa tercium wangi, wangi parfum yang biasa ia pakai. Dia di sini kemarin, kemarin malam, di kamar ini, menemaniku tidur, membelaiku dan mengucapkan selamat malam padaku.
Namun hal ini semakin membuatku bersemangat untuk bertemu dengannya pagi ini.
Hari ini aku ingin dia tahu perasaanku dan menyatakan niat seriusku terhadapnya. Ada segudang keinginan yang ingin kuutarakan kepadanya. Ada segudang harapan yang benar – benar ingin kuutarakan kepadanya. Aku ingin menghabiskan hidupku hanya bersama kekasihku sehari, kekasihku kemarin, kekasihku hari ini, kekasihku esok, kekasihku untuk selamanya.
Pagi ini, semua hal bercampur baur saat memasukki halaman parkir kantor. Aku membayangkan dia berdiri menyambutku pagi ini, di depan koridor seperti hal serupa yang dulu sering terjadi tanpa sengaja.
Namun hari ini terasa begitu lengang, tidak secarah biasanya. Suasana terasa begitu hampa. Walau merasa aneh, namun hal itu tidak menyurutkan niat semulaku.
Aku melangkah ke arah lobby, hari ini hanya terlihat security yang berjaga dan berdiri di sebelah meja receptionist. Ia melihatku dan melempar senyum. Ia terlihat murung setelah itu. Aku juga berusaha memberikannya semangat deperti aku begitu bersemangat hari ini.
Aku berjalan ke dalam, namun aku belum melihat sosok dia melintas di hadapanku.
Kemudian aku memasuki office. Semua orang terlihat berkerumun dan berwajah muram. Beberapa rekan – rekan ku terlihat menangis. Mengapa mereka menangis? Mereka para pria mengapa menangis? Aku masih berusaha memberikan semangat pada mereka. Namun tidak biasanya aku masih belum melihat sosok dia.
Kemudian aku melihat ke arah ruang kaca, ruang kerja dia.
Bukan sosok wanita, tapi sosok pria. Siapa dia? Kenapa dia berdiri membelakangiku? Tapi kenapa pria itu mengambil beberapa barang milik dia dan dimasukkan ke dalam box. Aku melihat pria itu mengambil bingkai yang berhiaskan wajah dia. Aku penasaran. Kemudian terbersit pikiran tentang pria mantan rekan kerjaku muncul lagi.
Darahku terasa mendidih dan mukaku terasanya memanas. Kemudian aku beranjak dan bergegas ke ruangan itu. Aku buka lebar – lebar pintu kaca itu, dengan maksud untuk mengusirnya pergi. Tapi sebelum sempat aku menghardik, pria itu menoleh dari balik punggungnya. Suara dan emosiku saat itu tercekat. Seketika itu aku merasa sedikit geli, melihat sosok pria yang ada dihadapanku, pria yang tingginya lebih kurang sepuluh sentimeter lebih pendek dariku.
“Ah, kau sudah datang,” kata pria itu. “Maaf, aku tidak menyadari kedatanganmu”. Serta merta ia meletakkan kembali frame photo itu di meja. Ia mengambil tissu di meja dan mengusapkan ke wajahnya, ia masih membelakangiku. Ia meremas tissu itu dan memasukkannya ke saku. Kemudian dia berbalik. Wajahnya terlihat muram.
“Bapak?”, tanyaku. Aku merasa sedikit heran dengan kehadirannya pagi – pagi itu. Tidak biasanya Direktur muncul sepagi ini. Biasanya ia baru muncul tiga puluh menit lagi, tepay jam sembilan pagi. Tapi kini ia sudah berdiri di hadapanku, mendahului kedatanganku pagi ini. Tidak biasanya.
Entah kenapa ruangan ini terasa begitu lain. Lengang.
“Kenapa barang – barang ini Bapak? Kenapa semuanya begitu kosong disini? Dia dimana? Memangnya dia belum datang? Bukankah biasanya dia orang yang paling rajin hadir. Kenapa dia tidak ada hari ini”, tanyaku.
Keadaan terasa semakin aneh. Kenapa tiba – tiba aku diterjang perasaan bersalah. Apakah dia mungkin berhenti dan tidak mengatakan apapun. Dia resign tanpa mengatakan apa – apa kepadaku. Tiba – tiba segala pertanyaanku mengarah ke niatnya ingin berhenti selama ini. Tapi dia sudah berjanji padaku kalau seandainya dia berhenti, aku adalah orang pertama yang ia beritahukan, setidaknya itulah janjinya padaku.
Direktur menatapku heran. Seolah masih banyak hal yang ingin ia utarakan kepadaku hari ini. Aku terdiam. “Dia sudah pergi, dia tidak akan pernah kembali lagi”, ujar Direktur sambil beranjak. “Tabahkan dirimu, Nak”, tambahnya lagi sambil menepuk pundakku.
Aku menoleh dan menatapnya berjalan keluar. Aku melihat melihat beberapa rekan menghampiri Direktur. Ia memegang kepalanya seperti tidak percaya. Seorang rekan kerjaku yang lain berusaha menenangkan dan menepuk pundaknya.
Namun ada yang mengusikku sejak tadi. Frame photo dia dan sebuah koran pagi yang terlipat di meja kerja. Aku menghampiri. Di
SEORANG WANITA MUDA TELAH DITEMUKAN TERGELETAK MENJADI MAYAT DI PERSIMPANGAN PERTIGAAN JALAN IMAM BONJOL. IA DIDUGA ADALAH KORBAN TABRAK LARI......
Tidak mungkin! Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin ini terjadi padaku? Kenapa ini harus terjadi padaku? Tidak mungkin ini menimpanya? Tidak mungkin itu dia. Aku benar – benar tidak bisa mempercayainya. Ini tidak mungkin! Ini berita bohong! Mereka pasti salah orang. Mereka tidak mungkin benar! Ini bohong!
Seluruh persendianku lemas dan lumpuh. Urat syarafku melemah. Tak ada yang bisa kupikirkan selain ketidakpercayaan atas berita itu. Aku menyeruak pergi meninggalkan ruangan dia, meninggalkan kantor, mencari kebenaran. Itu bukan dia, pasti itu bukan dia. Dia pasti masih dirumah, dia baik – baik saja.
Aku benar – benar tidak mempercayainya. Aku sudah berada di depan rumahnya. Disana sudah terlihat Bapaknya dan beberapa orang dari banjar mempersiapkan upacara pemakaman. Semua mengenakan pakaian serba hitam. Aku tidak melihat Ibu. Aku berjalan terus ke dalam. Beberapa orang tampak menoleh ke arahku. Aku berjalan gontai dan wajahku benar – benar kusam. Wajahku basah dan airmataku seakan tidak pernah berhenti mengalir.
Bagaimana mungkin ini terjadi padaku. Bagaimana mungkin kekasihku kini benar – benar telah pergi meninggalkanku. Aku benar – benar menyayanginya. Dia kekasihku, kemarin kami masih menghabiskan waktu bersama, walaupun satu hari, tapi dia benar – benar kekasihku.
Langkahku semakin lemas, tatkala melangkah ke balai tengah, aku melihat pajangan photo besar wajahnya terpampang di depan pembaringannya. Tangisku benar – benar tak tertahankan. Tenggorokkanku tercekat, seakan nafasku terhenti. Kekasihku terbaring di sana, diam untuk selamanya. Aku berjalan menaiki beberapa buah lantai tangga dan berdiri disebelah photo besar itu. Seorang wanita paruh baya dengan wajah kuyu, sembab dan penuh guratan – guratan kisah di wajahnya, berjalan menghampiriku. Aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya. Tapi dia pasti ibunya, wajahnya mirip dengan dia, kekasihku. Ia menatapku dengan menahan sedih. Tampaknya dia tidak sanggup menahan penderitaan itu sendiri. Sama sepertiku. Ibu memegang tanganku. Kemudian mengajakku mendekati tubuh yang kini terbaring kaku di
Ibu menyibak kain yang menutupi tubuh itu. Nafas dan tenggorokkanku benar – benar tercekat. Aku benar – benar merasa sangat lemas. Itu dia, itu memang benar – benar kekasihku, dia benar – benar terbaring diam, terbaring dan terbujur kaku dengan tubuh yang penuh dengan luka, memar yang tentunya teramat sangat sakit sekali. Aku terisak tanpa bisa berkata – kata.
Kugenggam tangannya. Dingin sekali dan lunak serta keriput. Kukecup tangannya. Kemudian kukecup keningnya dan aku semakin terisak. “Tidurlah, sayang. Aku sudah disini. Aku ada disini. Aku disampingmu. Aku akan bersamamu, akan menemanimu, akan mendampingimu disini dan mengantarkanmu ke peristirahatan terakhirmu”, ucapku lirih. Aku harus disini, harus bersama dia dan harus mengantarkan dia. Aku sayang dia.
Ibu semakin terisak. Ia tidak kuasa menahan sedih dan tangis. Aku raih tangannya. Aku genggam tangan Ibu. Aku jatuh terduduk dan Ibu memelukku. Aku sudah kehilangan dia untuk selamanya.
Lama aku terpekur duduk diam di samping pembaringannya. Aku melihat seorang pria muda melintas mendekati bale tengah, dia pastilah Adiknya, wajahnya terlihat kusam, raut kesedihan tampak diwajahnya. Ia berjalan mendekati Ibu dan memeluknya. Ia memandangku. Ia merogoh sesuatu di balik kain yang menyelimuti kekasihku. Ia mengambilnya dan menyodorkan padaku.
“Bli, Mbok meninggalkan ini. Tiang rasa ini untuk Bli. Tiang tidak tahu apa isinya. Sepertinya Mbok tidak sempat mengirimkannya kepada Bli. Tiang rasa ini pesan terakhir dari Mbok. Kata Bapak, orang – orang sekitar
Aku melihat sebuah icon amplop message. Message yang overload, pikirku. Masih tutatap benda itu. Aku sebenarnya tidak ingin membukanya. Tapi kupikir ini adalah pesan terakhir dari dia. Kemudian aku tekan tombol pembuka, untuk melihat pesan apa sekiranya yang dia tinggalkan untukku.
Aku memperhatikan waktu yang tertera pada pembuatan pesan itu. Pesan terakhir tersampaikan jam sembilan lewat tiga puluh menit. Aku tercekat seluruh tubuhku terasa panas. Pikiranku menerawang ke kejadian malam itu.
“Saat itu jelang waktu aku tidur, jam sembilan malam aku menelpon Selamat Malam pada dia. Saat itu, dia sudah mengalami peristiwa naas itu. Saat itu dia sudah tergolek kesakitan teramat sangat, saat itu dia masih sadar, di persimpangan jalan itu. Saat itu pasti aku menelpon dia. Saat itu dia menjawab telponku, tapi dia masih tergeletak kesakitan....Seharusnya saat itu aku bisa menolongnya, seharusnya saat itu aku datang menolongnya, seharusnya saat ini dia masih bersamaku. Seharusnya dia tidak terbaring disini. Seharusnya ini tidak terjadi. Seharusnya, seharusnya ..........”, ucapku terbata – bata. Pikiranku berkecamuk pada kejadian itu. Aku berteriak seperti kesetanan. Wajahku memanas. Aku tidak bisa berpikir apapun. Semua ini seharusnya tidak perlu terjadi. Tapi kenapa ini benar – benar terjadi. Kenapa aku tidak menyadari hal ini kemarin? Kenapa aku membiarkan dia terbaring menderita di jalan itu? Kenapa aku bisa membiarkan dia kesakitan di jalan itu. Kenapa aku tidak datang menolongnya? Kenapa aku tidak menyadari apapun saat itu? Manusia macam apa aku ini?
Tangisku kian tak tertahankan. “Aku seharusnya bisa menyelamatkan dia. Dia seharusnya masih ada sekarang, dia seharusnya tidak terbaring di sini”, aku menatap sosok yang terbujur kaku itu. Ibu memelukku. “Sudahlah, ini sudah kehendak Hyang Widhi. Kita harus merelakannya. Kita tidak boleh menentang-NYA. Jangan. Biarkanlah dia istirahat. Sekarang pastilah dia benar – benar tenang dan bahagia, istirahat disana”.
Hari berikutnya aku masih menemani dia,
Alunan iringan gamelan selonding mengiringi upacara pelebonannya seakan mencerminkan tangis pilu kepergiannya. Sementara lantunan kidung pengiring dari para wanita dari sanak saudara makin nyaring, gemanya terasa begitu memiris hati. Suara isak tangis masih terdengar mengiringi. Aku menatap diam kobaran api peleburan itu. Jasadnya kini hampir habis tanpa sisa, begitu cepat. Sesaat kemarin aku masih memeluk tubuh itu, namun kini sudah musnah dan hanya menyisakan kenangan. Tubuhku terasa ringan, sangat ringan, terasa ikut melebur bersama jasadnya dalam kobaran api peleburan itu.
Tiba – tiba aku teringat ucapannya satu hari itu, saat aku berdua ditempat itu. “Do you know what? I don’t know why, but I’m really sure. I’ll help you, to find your destinied soulmate. You’ll find your soulmate, I’ll find her for you, I’ll bring her for you, someday”, ujarnya seraya berbisik ditelingaku. “Jadi kamu tidak akan terombang – ambing lagi seperti sekarang. Menunggu lama seperti sekarang. I want you to be happy. Be happy forever”.
Aku rengkuh dia, memeluknya erat. “I already find my soulmate. I do find her, I do find that is you. I already have you. You are my soulmate. You are mine, always and forever. Remember one thing, forget other things. All I want is you, that for sure”, jawabku parau. Aku tidak menginginkan apapun selain dia berada di sampingku saat ini, esok, selamanya.
Seperti biasa dia hanya tersenyum, senyum yang tak pernah bisa kulupakan, senyum hangat yang hanya kutemukan pada dirinya, senyum hangat yang selalu ada pada dirinya.
Tak kuasa aku mengingat kembali saat itu. “Selamat tinggal kekasihku, my soulmate, I love thee...”, lidahku kian kelu tatkala mengucapkan kata – kata itu lagi.
Hari ini, aku merasa tubuhku sangat ringan seperti hendak melayang. Aku melangkah gontai. Meja itu, di pojok ruangan itu, meja dia biasa duduk dan menikmati santap siangnya. Dia akan ada duduk disana tanpa ekspresi sedikit pun dan menatap dingin ke arahku. Tanpa seulas senyum.
Aku menoleh dan dadaku benar – benar berdesir. Aku masih melihat sosok dia di sana. Duduk menunduk dan sendiri. Typikal tubuhnya tidak bisa aku lupakan. Rambut pendeknya diikat kebelakang. Kulitnya tidaklah seputih susu namun bersih dan berseri.
Dia mengangkat wajahnya. Dia menoleh dan pandangan kami bertemu. Wajah dia yang sama, mata yang sama tersembunyi di balik kacamata bening tanpa bingkai. Manis seperti dia. Dengan setelan serba putih itu dia terlihat sangat cantik bagiku. Dibibirnya tersungging senyum, senyum dia yang sama seperti saat itu, senyum yang tidak bisa kulupakan dan masih melekat dalam ingatanku selamanya.
Dia akan selalu ada disana, berada disana menatapku dengan senyuman, berada dimana pun dia akan selalu terlihat tersenyum kepadaku, dia yang selalu ada dihatiku, dia yang selalu bersemayam dalam cintaku untuk selamanya. Adieu **) my love, I love thee..........
Denpasar,
*) I love thee = I love you (Old English)
**) Adieu = Selamat jalan (Old English)For someone I cannot owned, thank you for giving me this inspiration, explicitly ...