Sunday, November 8, 2009

Episode 9: Ada apa sebenarnya?

Tak ada yang mengerti dengan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Tak ada yang mengerti apa sebenarnya tujuan mereka. Tak ada yang mengerti ke arah mana hendak mereka lalui.
Semua absurd, semua semu, semua maya, dan hanya meninggalkan sekelumit permasalahan dan pertanyaan yang semakin tidak bisa kami mengerti.
Ada apa sebenarnya dengan semua ini?

Mengapa keadaan menjadi semakin tidak menentu, mengapa semakin lama semakin tidak ada kejelasan, mengapa keadaan menjadi sangat pelik seperti sat ini. Setidaknya ada satu hal yang selalu menjadi pertanyaan kami.
Ada apa dengan semua ini?

Kami tidak pernah membayangkan jika hal ini benar – benar menjadi sebuah rumor di antara kami, rumor yang semakin tidak menyenangkan, rumor yang semakin menyesakkan kami serta membawa kami selalu ingin bertanya.
Ada apa dengan semua ini?

Permainan saling beradu argumentasi, berusaha saling membela diri, berusaha untuk saling memahami satu dengan lainnya, saling membela diri sendiri. Tapi semua itu hanya membawa kami ke arah hal – hal yang semakin tidak bisa dimengerti oleh nalar kami sendiri sebagai orang awam. Namun, ada satu hal yang selalu kami pertanyakan.
Ada apa sebenarnya dengan semua ini?

Makin lama makin di telusuri makin tidak masuk akal. Semakin bodohkan kami, semakin goblokkah kami, semakin konyolnya kah kami?



Kami adalah orang – orang yang tidak punya pilihan, karena kami tidak pernah diperbolehkan untuk memilih. Namun, kami adalah orang – orang yang bisa memilih yang pada akhirnya kami memang harus memilih.

Kami adalah orang – orang yang tidak bisa menentukan apapun karena kami tidak pernah dibiarkan untuk menentukan. Namun, pada akhirnya kamilah yang harus menentukan.

Sebenarnya, kami tidak bodoh, kami tidak goblok, kami tidak konyol, tetapi kami selalu diperlakukan supaya kami terlihat bodoh, terlihat goblok, terlihat konyol.

Tak tahu apa yang hendak kami perbuat berikutnya. Akankah harus seperti ini, akankah tidak bisa tidak seperti ini, apakah tidak ada hal yang bisa menyadarkan kami, bahwa kami berhak untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.

Kemana, dimana, mengapa, bagaimana adalah sekian banyak pertanyaan yang selalu melintas di benak kami. Tetapi tak satu jawaban pun kemudian bisa kami mengerti, tak ada satu pun yang bisa kami pahami.

Selama ini, semua ini hanya merupakan keabsurdan, kemunafikan, kebohongan yang membawa mereka pada keserakahan, kesombongan, kekejaman. Semuanya hanya sandiwara di depan kami, semua hanya skenario yang benar – benar yang mereka ramu dan racik begitu manisnya dan diciptakan untuk membuat kami terlena.

Tetapi hal itu malah membuat kami semakin mengerti dan sadar, bahwa hal ini tidak boleh terjadi lagi. Sudah cukup bagi kami untuk selalu menerima. Sudah cukup bagi kami mengerti mereka. Sudah cukup bagi kami untuk tetap di jalur ini. Kami harus bertindak, jangan pernah terlena pada hal yang serupa begini. Sekarang atau tidak sama sekali. Kami tahu ke arah mana kami melangkah ingin selanjutnya.

... semua, tak akan ada lagi, tidak boleh terjadi lagi dan jangan pernah terjadi lagi ...

Kami adalah kami, mereka adalah mereka, semua tidak bisa diubah, namun semua suatu ketika pasti berubah, memang harus berubah, dan harus berubah ...

Apa yang bisa kami lakukan saat ini hanya diam, tapi kami sebenarnya tidaklah pernah diam.

Kami adalah kami dengan apa yang kami miliki saat ini, entah sampai kapan kami bisa berada di jalur ini. Kami suatu saat memang harus meninggalkan semua ini, menapaki sebuah jalur baru, entah apakah jalur itu akan tetap sama, namun kami yakin kami pasti bisa melaluinya, sama halnya kami bisa melalui hal yang saat ini sedang kami hadapi.

Kami hanyalah kami dengan apa yang kami miliki, kami hanya bisa melakukan sebatas ini, namun kami tidak akan pernah seperti ini untuk selamanya.

Mereka bisa melakukan apapun saat ini, tetapi mereka tidak bisa melakukan hal itu untuk selamanya, karena kami bisa melakukan apa yang tidak bisa mereka lakukan.

Kami hanya mau, kami hanya ingin, kami hanya hendak melakukan apa yang benar – benar seharusnya menjadi milik kami, apa yang menjadi hak kami, apa yang menjadi kemampuan kami.

Mereka adalah mereka, karena itulah mereka, karena mereka bukanlah kami, karena mereka hanyalah mereka, dengan semua yang mereka banggakan.

Mereka tetap ada di jalur mereka, hingga kapanpun, akan tetap di jalur itu. Entah apakah mereka bisa melakukan semua itu selamanya, namun hal itu bukanlah yang kami inginkan, kami tidak mau seperti mereka, kami hanya ingin apa yang kami bisa.

Suatu ketika, kami pun akan berkata, bahwa kami akan ada dijalur yang mereka yakini saat ini, tetapi semuanya akan terjadi dengan kehendak kami sendiri, yang pastinya sama sekali tidak meniru apa yang telah mereka pernah lakukan pada kami.

Suatu ketika, kami akan melakukan hal yang sama sekali bukan yang pernah mereka lakukan, karena kami tahu apa yang kami mau, kami inginkan, dan kami lakukan, dan semua sama sekali tidak seperti mereka.

Kini, kami adalah kami, mereka adalah mereka, akan terus seperti itu, tak akan pernah ada batasnya ...

*** Finish ***

[September 16, 2009]

Episode 7: Letter to Mr. M




Dear Mr. M,

By the time you read this message, I do finalize my decision. Regret to inform you that I cannot give you the second opportunity. It’s been a very tiresome period for me, really I am. I could not really understand, why you always bother and argue a simple thing?

Every simple thing, always leads to cruelty, every cruelty always leads to disaster, every disaster always leads to, you always know this, NOTHINGNESS. What do you expect from such this situation? We both really unmatched couple from the beginning, since the first disaster happened which lead to break out of the relationship. You declared it, none of me. Three months of no commitment, what’s achievement of relationship was that. It just awakening me from my long long sleep, then I said to myself, that’s it! No more frustrating matter, I’m tired of it. However, living in disguise leads me to a conclusion, I won’t continue this anymore. Twice opportunities is enough for me, since you could not even better than before but getting worst and worst, that’s horrible, so horrible, even I don’t want to be involved anymore, no more!

As for now, I’m the decision maker, NOT you. I cannot really understand a person like yo anymore. I’ll memorize it, mark in well in my head and you know what, I AM SO GLAD TO DO THIS, REALLY I AM! There’s no tolerance for tremendously stubborn person as YOU are.

Last by no mean no least, YOU may still phone me, but I’ll never expect you do that, NEVER!

SO, I prefer if you delete me from you list, FOREVER, as I will delete YOU from MY LIVE, that’s MY PROMISE!

P.S: No regards, that's it ... please do not try to call me at once, thank to you ...

Disassterrific Episode 6: We do Have Similar Feeling At Last



Pernyataan ini saya dengar tatkala Bibi saya mengatakan kalau ada sebuah pengakuan yang dilontarkan oleh saudara saya tersebut. Saya tidak perlu menyebutkan namanya di sini, tetapi dia memang benar – benar ada dan nyata, pastinya.

Dia mengakui kalau saat ini, hubungan antara kelarga dia dan keluarga saya, terutama Bapak dan Papa dia, benar – benar tidak harmonis. Semakin lama hubungan itu semakin menjauh dan menjauh, hingga kini dalam keluarga kami (saya) terkenal dengan istilah cuek.

Saya lega dia mempunyai perasaan itu, benar – benar lega.

Hal ini sebenarnya bukan tanpa sebab musabab. Pertama, karena ada konspirasi terselubung dengan orang luar yang ingin mencelakakan keluarga saya, terutama sekali Bapak. Kedua, karena semakin ‘dijauhkannya’ kami dari segala kabar tentang kesehatan Papa dia. Ketiga, karena kami sudah teramat sangat tidak pernah merasa nyaman dengan kehadiran orang ketiga yang mereka (keluarga dia) sebagai Sang Penolong. Semua itu, sama sekali tidak masuk dalam nalar kami, dan semakin membuat kami sebagai keluarga super cuek, terutama terhadap keluarga seperti mereka.

Sebenarnya, kami tidak sedikit pun merasa menjauhi mereka, namun justru merekalah yang semakin menjauhkan diri dari keluarga besar. Kami sama sekali tidak pernah iri ataupun dendam dengan perlakuan Nenek yang mengakibatkan kami (terutama saya) ‘pada akhirnya’ sama sekali tidak pernah bisa akur dengan Nenek kandung saya sendiri.

Saya sama sekali tidak merasa itu adalah urusan saya. Tetapi karena hal ini, yang kemudian semakin merisaukan Ibu saya dengan ’urusan – urusan yang terasa janggal dan semakin janggal’ yang dilakukan oleh Nenek.

Kembali ke masalah saudara sepupu saya, saya lega kalau dia akhirnya semakin sadar bahwa sekarang keluarga sudah tidak semakin akur. Terakhir saya jadi malas menyapa dia saat Galungan terakhir kemarin, lantaran dia memang nempel sekali dengan Ibunya tersebut. Saya enggan jika menyapa dia dan bersenda gurau dengan dia, si Ibu akan ikut – ikutan nimbrung dan sama sekali tidak saya kehendaki. Sebelumnya, saat saudara saya tersebut itu sakit pun kami di Denpasar sama sekali tidak pernah dikabarkan.

Jadi, lama kelamaan kami sekeluarga semakin yakin kalau mereka memang tidak pernah butuh kami, saudara dekat sebenarnya. Bagi mereka, saudara terdekat mereka adalah saudara dari si Ibu yang memang lebih rajin mengunjungi mereka ke rumah.

Kami sama sekali tidak peduli. Tetapi kami tetap yakin dan selalu yakin, kebenaran selalu yang menang. Jika nasehat sudah tidak lagi ampuh untuk menyadarkan mereka, semoga suatu saat nanti Tuhan benar – benar memberikan mereka pelajaran yang membuat mereka benar – benar sadar dan sepenuhnya sadar pada siapa mereka sebenarnya. Saya yakin dan kami sekeluarga memang punya keyakinan itu.

Dissasterrific Episode 5: My Long Lost Sister


There were a very tremendous and unexpectable surprise I received at the beginning of this year. I never imagined that, yet it appear just the way it is …

Aku sangat terkejut dengan pengakuannya yang blak – blakan. Kala itu, siang hari, saat aku sibuk dengan pekerjaanku. Berhubung pekerjaanku melibatkan banyak pihak, jadi komunikasi pun terjadi via messanger. Kebetulan semua teman memiliki messanger, tidak lupa juga, aku add saudaraku itu.

Tiba – tiba dia mengejutkan aku dengan beberapa kali icon buzz. Aku menyapanya, karena kami memang tidak pernah bertukar kabar selama ini, setidaknya setelah hari Raya Galungan dua bulan lalu.

Awalnya hanya basa basi yang memang terasa semakin basi. Pembicaraan kami terjalin begitu santai, karena saat itu, aku dan dia sedang tidak sangat disibukkan pekerjaan.

Namun entah dari siapa dan mengapa kemudian dia membicarakan masalah pribadi yang hanya urusan kedua orangtua kami, Bapakku dan Papa dia. Dia berbicara panjang lebar dengan begitu semangatnya, dan entah mengapa hanya dia yang mendominasi semua pembicaraan via messanger tersebut.

Aku menjadi terperangah mendengar pengakuan dia segamblang itu. Aku terang benar – benar terkejut dan merasa sedikit aneh dengan gelagatnya tersebut. Dia mengeluarkan semua yang dia ketahui tentang keluarga kami hingga masalah yang seharusnya bukanlah urusan dia dan memang hanya urusan kedua Bapak kami.

Mula – mula, aku kurang yakin dengan apa yang diucapkannya. Aku juga merasa keberatan dengan pendapat dia, yang seolah – olah telah didoktrin untuk hal itu. Aku benci sekali dengan kata – kata ini, tetapi memang itulah yang terjadi.

Aku sama sekali tidak membenarkan maupun menyalahkan ucapannya. Yang aku kagetkan adalah dia dengan gamblang menceritakan semuanya seolah – olah dia tidak per

There’s a very strange surprise once I realized what is really happen in her family. It was beyond our believe. There were something strange really happen there. I really cannot imagine what is actually happened.

A real stranger, who does not ever expected before …

Sist, I’m sorry if you felt that we’re separate this far, so far, therefore we never can even contacted each other anymore. It was hugh surprise for me that you convinced that there’s “a will” in your family. I really refused what you said about our family. I think it was not you who talk like that.

But, I really hope someday we can contact again …

* Dongeng dari Negeri Burung Ufuk Timur *

Kisah Si burung jambul kuning dan sang Burung Garuda




Suatu ketika seekor burung kecil berjambul kuning tampak sebatang kara. Ia berjalan kesana kemari dan kemudian terbang kesana kemari, entah apa yang dicarinya. Ia sendirian, kebingungan, tanpa arah, tidak tahu apa yang hendak ia cari. Entah kemana ia ingin terbang, entah kemana pula arah yang ingin ia lalui.

Beberapa saat kemudian, ia merasa kelelahan. Ia pun hinggap di sebuah batang ranting pohon yang cukup rindang. Lama ia terdiam dan termenung, entah apa lagi yang sedang dipikirkannya.

Tiba – tiba terdengar suara bergemuruh ribut dari suatu arah. Ia menoleh dan serta merta mencari – cari sumber ribut tersebut. Dicarinya suara ribut tersebut sambil kepala mungilnya menoleh kesana kemari. Tak ditemukannya apa yang ia cari, ia pun kembali terbang menyusuri sumber suara tersebut.

Tak beberapa lama kemudian, ia tiba di sebuah padang savanah yang cukup luas yang ditumbuhi banyak pepohonan rindang nan indah. Tak sengaja, pandangannya tertuju pada sekelompok burung yang sedang terbang, riuh bercanda, bermain, di dahan pohon sambil bernyanyi, berkicau, bersenda gurau dengan riang satu dengan lainnya. Nampak juga beberapa di antaranya terbang kesana kemari, mungkin mencari makanan.

Mereka terlihat begitu bahagia bersama – sama.

Lama si burung kecil berjambul kuning memperhatikan mereka. Terbersit di benaknya ia ingin ada dan ikut kemeriahan bersama mereka. Ia ingin ikut bermain, bernyanyi, berkicau bersama dengan mereka.

Si burung kecil berjambul kuning kemudian melihat seekor burung besar yang sedari tadi tampak memperhatikan teman – teman dalam kelompoknya. Ia adalah si burung raksasa, satu – satunya dalam kelompok itu.

Si burung kecil berjambul kuning begitu takjub dengan sosok burung itu. Ia begitu gagah dan bersahaja. Mungkin ialah pimpinan kelompok itu, pikir si burung kecil berjambul kuning. Ia belum pernah bertemu burung sebesar itu dalam hidupnya. Namun ia pernah mendengar kalau si Garuda adalah burung terbesar dalam bangsa burung.

“Ini kah ia si burung Garuda?”, tanyanya dalam hati, sambil sama sekali tak melepas pandangan dari si burung raksasa nan gagah itu.

Rupanya si burung Garuda menyadari kalau ia dan kelompokya sedang diperhatikan. Ia pun berbisik pada seekor burung di sebelahnya. Ia adalah si burung hantu. Si burung hantu terbang mendekati dan kemudian hinggap di sebelah si burung kecil berjambul kuning yang saat itu sedang bertengger di bawah salah satu pohon rindang.

“Mengapa kau tampak murung?”, tanya si burung hantu. Ia menatap si burung jambul kuning serius. Ia penasaran, siapa gerangan burung ini.

Si burung kecil berjambul kuning pun terkesiap dan menoleh. Dilihatnya si burung hantu menatapnya dengan pandangan serius, namun ia hanya diam sambil kembali menatap si burung Garuda dan burung - burung lainnya.

“Dimana kelompokmu, keluargamu, teman - temanmu? Mengapa kau tampak sendiri”, tanya si burung hantu lagi.

Si burung kecil berjambul kuning kembali menoleh. “Mereka pergi, mereka sudah terbang jauh, dan mereka meninggalkan aku di sini sendiri”.

Si burung hantu kemudian menoleh dan menatap kerumunan burung - burung yang mengelilingi si Burung Garuda.

“Apakah kau mau bergabung bersama kami?”, tanya si burung hantu. ”Kau mau ikut kami, kelompok kami?”.

Si burung kecil jambul kuning terkejut, "Bolehkah!?".

Si burung hantu hanya menganggung dan tersenyum sambil mengibaskan kedua sayapnya.

“Sungguh!?”, ujar si burung kecil berjambul kuning gembira. Ia mengepakkan sayapnya kegirangan.

Kemudian si burung hantu membawa dan memperkenalkan si burung jambul kuning kepada si burung Garuda, dan juga burung - burung lain di kelompok itu.

Sejak saat itu, si burung kecil berjambul kuning pun bergabung dalam kelompok si burung Garuda. Si burung kecil berjambul kuning pun diperkenalkan kepada semua anggota kelompok sebagai anggota baru dan beberapa koloni lain burung Garuda. Si burung kecil berjambul kuning begitu menyukai keberadaannya dalam kelompok si burung Garuda.

Di dalam kelompok itu, ia mulai mengenal karakter teman – temannya bahkan si burung Garuda yang adalah penguasa di kelompok itu. Burung lain memanggilnya sebagai Yang Mulia karena ia lah raja dari koloni burung itu.

Si jambul kuning pun semakin mahir dan cekatan. Jika dulu ia hanya si burung kecil berjambul kuning yang tidak tahu apa – apa, tidak bisa apa – apa, tidak tahu siapa pun. Tetapi setelah bergabung dalam kelompok itu, ia pun semakin tahu banyak hal. Ia kini punya banyak teman dalam kelompoknya, bahkan ia juga punya banyak teman dari kelompok lainnya. Ada juga teman - teman baru yang ikut bergabung dalam kelompok itu dan mereka semakin akrab.

Si burung kecil berjambul kuning mempunyai teman – teman dekat dan sahabat, diantarannya si burung berjambul putih dan si burung berjambul merah. Si burung kecil berjambul kuning dan si burung kecil jambul merah adalah teman – teman baru yang mempunyai latar belakang hampir sama dengan dirinya. Mereka pun bersahabat cukup lama.

Namun suatu ketika, beberapa teman – teman dalam kelompok itu, satu per-satu meninggalkan kelompok burung pimpinan si burung Garuda itu. Hingga tiba saat giliran si burung kecil berjambul putih pun merasa sudah saatnya ia harus meninggalkan kelompok itu.

Si burung kecil berjambul kuning menatap sahabatnya sambil mendekatinya.

“Mengapa kau pergi? Mengapa kau harus pergi?”, tanya si burung kecil berjambul kuning.

“Aku sudah cukup belajar. Sudah cukup banyak hal – hal yang aku ketahui dalam kelompok ini, bersama kalian, mereka dan juga kau”, ujar si burung berjambul putih.

“Sudah saatnya pula aku belajar hal baru, yang tidak kuperoleh di sini, yang tentunya bisa kuperoleh diluar sana, dalam kelompok baru ataupun aku sendiri”, tambah si burung berjambul putih.

Benarkah seperti itu? kata si burung berjambul kuning dalam hatinya sendiri, sambil menatap sahabatnya itu menghilang dalam lembayung cakrawala.

Selang beberapa hari kemudian, kini giliran si burung berjambul merah. Mereka saling bertatapan. Sahabatnya itu hanya tersenyum kepadanya. Si burung kecil berjambul kuning menatap sahabatnya itu lekat – lekat, sambil di kepalanya melintas sekian banyak pertanyaan yang membuatnya penasaran.

“Mengapa kau juga pergi? Mengapa kau juga harus pergi?”, tanya si burung kecil berjambul kuning.

“Sekarang giliranku untuk belajar di luar sana. Aku ingin berkembang dan mandiri. Di luar sana masih banyak yang ingin aku ketahui, masih banyak yang ingin kuraih. Aku benar – benar sudah siap untuk menjelajahi dunia ini”, ujar si burung jambul merah berbinar - binar yakin.

“Aku harus pergi, suatu saat kita pasti bertemu kembali”, ujar si burung jambul merah tersenyum ke arah si burung kecil berjambul kuning sambil mengepakkan sayap, menukik dan terbang ke arah senja di ufuk barat.

Si burung kecil berjambul kuning menatap kepergian sahabatnya itu hingga ia benar – benar menghilang di balik senja. Si burung kecil berjambul kuning menunduk diam, dan memikirkan perkataan sahabatnya.

Benarkah seperti itu juga? Kata si burung berjambul kuning dalam hati. Perlahan ia pun terbang dan hinggap di atas sebuah ranting pohon yang dibawahnya terdapat kolam yang cukup jernih.

Si burung kecil berjambul kuning menatap dirinya dalam pantulan air yang diterangi temaram cahaya rembulan. Ia takjub pada dirinya sendiri. Dalam waktu cukup lama dan tidak singkat, rupanya ia telah banyak berubah.

Ia tersenyum menatap dirinya sendiri. Kemana saja dirinya selama ini, tidak menyadari sedemikian besar sudah perubahan yang terjadi dalam dirinya, walaupun ia masih si burung kecil yang mungil. Sekian lama ia terdiam menatap dirinya sendiri, namun ia merasa sedikit ragu.

“Kau tidak akan tahu jika tidak melakukannya sendiri. Tapi satu hal yang pasti, kau belum cukup siap untuk itu”, ujar kata hatinya.

Itulah kenyataan yang ia alami saat ini, ia merasa belum cukup siap, itu saja. Si burung kecil berjambul kuning kembali diam.

Si burung hantu mendekatinya. Ia menatap si burung berjambul kuning.

”Jangan pernah ragu dengan apa yang hendak kau lakukan. Kau harus mantap, kau harus tegas dan kau harus kuat. Di luar sana terlalu banyak hal – hal tak terduga, tidak seperti yang pernah kau temukan dalam kelompok ini. Di luar sana, kau adalah dirimu sendiri. Tak ada yang membantumu, tak ada yang menolongmu, dan tak ada yang menghiraukanmu”.

Dia benar, aku belum cukup kuat untuk sendiri, aku belum cukup kuat untuk melakukan semuanya sendiri. Aku belum cukup tangguh menghadapi cobaan dan resiko sendiri. Aku juga belum cukup mantap dengan keputusanku sendiri.

Suatu hari kelompok si burung Garuda terbang bersama – sama bermigrasi bersama – sama. Di tengah jalan kelompok mereka berpapasan dengan kelompok lainnya. Saat itu si burung berjambul kuning melihat sosok yang sangat di kenalnya dalam kelompok itu. Dia adalah si burung jambul putih.

Si burung jambul putih sudah banyak berubah hingga si burung jambul kuning pun susah mengenalinya. Kini dia tampak jauh lebih dewasa, gagah, tangguh, dan kuat. Si burung jambul putih melambai padanya.

Suatu ketika, si burung jambul kuning mempunyai kenalan baru yang memiliki latar belakang sama sepertinya dulu, tanpa teman dan sebatang kara. Dia adalah si burung hitam berjambul putih. Si burung hitam berjambul putih begitu cepat belajar. Hingga suatu ketika si burung hitam berjambul putih begitu cepat bertemu dengan pasangannya dalam kelompok itu. Mereka hidup berbahagia walaupun masih bergabung dalam kelompok itu.

Setelah beberapa hari, baru kemudian dia benar – benar mulai tersadar. Sekian lama bersama dalam kelompok itu benar – benar telah menyadarkannya. Ia bukan lagi si burung kecil berjambul kuning yang dulu tidak tahu apapun. Kini ia adalah si burung berjambul kuning yang telah banyak belajar dan siap untuk terbang sendiri seandainya ia mau mencoba.

Si burung kecil berjambul kuning sadar bahwa walaupun tubuhnya masihlah kecil, namun otak dan caranya berpikir tak lagi sekecil dulu. Dia masih memiliki jambul kuning di dahinya. Dia memiliki sayap lebar dan gagah. Paruhnya pun tak lagi serapuh dulu. Sayapnya pun kini mengepak lebar. Sebenarnya dia sudah cukup tangguh. Dia memang sudah siap untuk hidupnya sendiri, untuk masa depannya.

”Aku benar- benar siap”, ujarnya mantap.

”Apakah kau sekarang benar – benar mantap dengan keputusanmu?”, tanya si burung Garuda suatu ketika.

Si burung jambul kuning mengangguk sembari berkata,”Aku benar – benar siap dan mantap”. Dia menatap si burung Garuda dan si burung hantu secara bergantian.

Si burung Garuda diam, begitu pula si burung hantu. Si burung Garuda menatapnya dengan serius.

”Kalau begitu pergilah!”, kata si burung Garuda tiba - tiba.

Si burung hantu menoleh, keduanya saling bertatapan. Ada sebuah keyakinan dari sorot mata si burung Garuda. Ia pun mengerti. Ia mendekati si burung kecil berjambul kuning.

”Pergilah anakku dan temanku, semoga kau di luar sana menjadi burung yang tangguh dan bersajaha, seperti yang kau impikan selama ini”, ujar si burung hantu sambil menepuk pelan punggung si burung berjambul kuning.

Si burung berjambul kuning menoleh. Ia menatap si burung Garuda dan si burung hantu bergantian. Tapi ia yakin, keduanya kini mengerti keinginannya.

"Memang sudah saatnya untuk kau mengepakkan sayapmu bersamaan. Melompatlah dari kaki mungilmu itu dengan mantap, tanpa keraguan. Hanya satu pesan untukmu, janganlah terbang terlalu tinggi dulu untuk mengetahui kondisi fisikmu. Kau harus tahu dimana batas kemampuanmu dan kau harus bisa mengatasinya itu sendiri dari sekarang. Terbang rendahlah dulu supaya selanjutnya kau bisa terbang lebih tinggi. Kalau sudah terbiasa terbang rendah, untuk terbang lebih tinggi lagi akan jauh lebih mudah asalkan kau punya keberanian dan keyakinan pada dirimu sendiri", kata si burung hantu berpetuah.

Si burung jambul kuning menggenggam tangan si burung hantu. ”Terima kasih”, ujar si burung jambul kuning lirih dengan tatapan yang berbinar - binar. Untuk terakhir kalinya, ia tersenyum pada keduanya seraya berpamitan. Si burung jambul kuning pun akhirnya mengepakkan sayap kecilnya lebar – lebar.

Si burung jambul kuning tersenyum lega untuk pertama kali dalam hidupnya.

”Selamat tinggal teman – temanku, selamat tinggal sahabat – sahabatku, selamat tinggal semua. Terima kasih semuanya, semua yang telah kita bagi bersama, semua yang telah kita perjuangkan bersama, semua yang telah kalian ajarkan, semua bimbingan dan dukungan kalian. Maafkan atas semua kesalahanku dan apapun yang telah membuat kalian tak berkenan karena ulahku. Aku benar – benar berterima kasih untuk semuanya”, ujarnya sembari menoleh sekali lagi ke arah kelompok itu.

Seluruh koloni menyemangati dirinya. Si burung jambul kuning pun semakin tegar dan yakin.

Memang terasa berat meninggalkan koloni itu. Namun si burung jambul kuning yakin, suatu saat ia akan bisa melihat koloni itu lagi, namun dengan keadaan dirinya yang akan jauh berbeda dari dia saat masih bersama koloni itu.

Si jambul kuning kini terbang sendiri, ia bebas menentukan arahnya sendiri.

Kini, ia pun terbang semakin jauh menjelajah bebas menuju cakrawala di ufuk barat, menyongsong hidupnya yang baru.







*** Finish ***









*** Siapakah si burung berjambul kuning? ***



*) Untuk sahabat - sahabatku, terima kasih atas kontribusinya sehingga "naskah" ini, akhirnya terselesaikan ... ^^




supported image: http://www.gettyimages.com

Wednesday, April 22, 2009

Dia, Kekasih Sehari, Kekasih Selamanya



Kini hampir tiap hari kulihat dia sendiri. Hampir tiap hari juga dia kami tinggalkan sendiri. Duduk sendiri di pojok kantin itu, dia selalu duduk sendiri. Dia tidak pernah sekalipun ingin mendekat ke kelompok kami. Kini setelah ia tidak lagi memiliki teman – teman kerja sesama wanita yang seusia dengannya, aku berusaha untuk menghampirinya. Aku ingin dia tahu dia masih ada aku yang akan ada untuk dia walaupun dia tidak punya teman wanita untuk ia ajak bertukar pikiran seperti dulu.

Walaupun aku tahu typical wanita seperti apa dia, tapi aku berusaha untuk selalu bisa dekat dengannya. Duduk dekat dengannya. Hanya ingin berada di dekatnya. Aku temannya sejak dulu hingga sekarang. Ia seharusnya lebih mengenalku sekarang apalagi setelah sepeninggal teman – teman wanitanya karena sudah tidak betah lagi berada di bawah naungan perusahaan tempat kami bekerja.

Tapi mengapa dia selalu begini? Jika aku mendekati meja tempat ia duduk, aku meraih tempat duduk dan duduk dihadapannya, kenapa ia selalu beranjak berdiri dan melangkah pergi tanpa menatapku sedikitpun? Mengapa ia selalu menghindar dariku? Mengapa sikapnya selalu frigid, angkuh, sombong seperti ini jika aku berusaha mendekatinya? Mengapa ia tidak mau kudekati? Apa salahku kepadanya selama ini? Mengapa dia akan menghindar dan tidak mau membaur bersama kami walaupun kami sebagian besar adalah pria tapi kami adalah rekan – rekan kerjanya. Mengapa ia tidak pernah sekali pun ingin mendekat. Apakah pembicaraan para pria tidak pernah sedikitpun membuatnya merasa nyaman. Mengapa dia seperti ini? Ia sama sekali tidak mau berbagi kisah, keluh kesah, kekesalannya apapun yang ia rasakan.

Aku tahu dia pasti merasakan hal itu. Walaupun ia terlihat kuat di hadapanku, selalu bisa mengatasi masalahnya sendiri, selalu bisa berbagi gagasan, namun aku tahu sebenarnya dia juga rapuh. Mengapa sekarang aku merasakan dia bukan lagi orang yang kukenal dulu? Dulu dia akan selalu membantu dan berbagi gagasan dalam pekerjaan. Aku merasakan keberadaan dia bukan saja sebagai senior tapi juga partner kerja. Walaupun dia adalah seniorku tapi itu bukanlah suatu alasan aku tidak bisa mengenal dia lebih dekat, lebih personal.

Mengapa aku merasa begitu nyaman bersama dia? Mengapa bersama dia aku merasa lebih nyaman ketimbang bersama pacarku? Kelebihan apa yang ia miliki sehingga membuatku merasa lebih nyaman bersamanya? Parasnya tidaklah cantik, dia tidak tinggi semampai, dia tidak berkulit nan halus bak sutra dan putih laksana susu, dia tidak memiliki kesempurnaan paras dan elok seperti yang dimiliki pacarku?

Tetapi bukan itu yang membuatku begitu penasaran kepadanya. Bagiku dan juga bagi semua pria di perusahaan ini, dia adalah wanita sombong, judes, egois, sinis tetapi dia selalu focus dan serius pada pekerjaan. Tetapi dibalik itu aku melihat dia memiliki kelebihan yang benar – benar harus ku akui; selama ini dia membuatku merasa nyaman bersamanya, selama ini dia membuatku merasa aman bersamanya, selama ini dia membuatku bersemangat.

Serious kuakui, dia benar - benar membuatku tertantang dan tergoda untuk bisa menaklukkannya. Mengapa aku selalu tertantang untuk bisa menaklukkannya?

Bagiku, dia yang kukenal sebagai sosok wanita yang sangat perhatian dan peduli terhadap sesama rekan kerja. Aku tahu dia sedikit lamban dan juga tidak sepintar Einstein dalam hal tertentu namun hal itu tertutupi dengan kecerdasan yang dia miliki, keseriusan kerja serta tanggap dalam banyak hal. Ia selalu ingin tahu dan selalu merasa kalau dia masih saja merasa bodoh dan perlu banyak belajar. Dia paling tidak suka kemampuannya diremehkan, dimana hal itu suatu ketika malah akan membuatnya terpacu untuk menjadi lebih pintar dan memiliki kemampuan lebih dari siapa pun yang meremehkannya. Di mataku, dia tipe wanita pejuang, yang celakanya benar - benar aku suka.

Ia adalah orang yang menjadi semangatku tiap pagi, tiap hari, tiap saat. Mengapa aku selalu ingin bertemu dengannya melebihi keinginanku bertemu dengan pacarku? Mengapa aku selalu merindukannya, melebihi kerinduanku bertemu pacarku? Mengapa perasaan nyaman bersamanya tidak bisa kurasakan saat bersama pacarku? Mengapa ada perasaan lain yang benar – benar berbeda yang kurasakan apabila dia tidak ada disekitarku. Kerinduan mendalam seandainya ia tidak hadir, tidak ada di sekitarku. Mengapa sikapnya berubah sama sekali terhadapku? Apakah ia masih memendam marah atau kecewa padaku? Apakah aku telah salah menyatakan perasaanku selama ini kepadanya? Apakah saat itu bukan hal yang tepat bagiku untuk menyatakan dan mengutarakan perasaanku?

Masih ada banyak pertanyaan yang berkecamuk dan berputar - putar di benakku yang mungkin menbuatnya menjauhiku. Apakah aku telah salah memendam perasaan terhadapnya lebih dulu? Apakah pernah dia menyadari perasaan yang kurasakan? Apakah salah jika pada saat yang bersamaan aku juga mengenal wanita lain? Apakah salah jika aku juga menghabiskan waktu bersama wanita lain? Apakah salah jika suatu ketika aku mencium wanita lain tanpa kusengaja? Apakah salah jika wanita itu menyatakan perasaannya terlebih dahulu kepadaku? Apakah salah seandainya aku mencurahkan dan menceritakan semua ini terhadap dia di keesokkan harinya? Apakah salah jika aku juga menyatakan perasaanku yang sebenarnya kepada dia? Apakah dia merasa sakit hati dan kecewa dengan semua yang telah aku utarakan kepadanya? Apakah dia merasa sakit hati?

Apakah dia memiliki perasaan yang sama terhadapku? Apakah dia benar – benar serius menolakku? Apakah dia tidak mempercayai aku lagi? Apakah salah kalau penolakkannya malah mengantarku menerima wanita lain dalam hidupku? Apakah sebenarnya dia hanya ingin mengujiku kala itu? Apakah salah seandainya kemudian aku ingin menumpahkan kekesalanku dan membuatnya cemburu? Apakah kecemburuannya menjauhkan dirinya dariku?

Keraguan masih membayangiku. Kini aku sudah bersama dengan yang lain. Tapi hal ini juga dia yang telah menyarankannya padaku. Bukankah dia yang mengatakan kalau dia tidak ingin bersamaku dan supaya aku menjalani hidup bersama wanita itu.

Sehari, dua hari, tiga hari, bahkan berhari – hari, berminggu – minggu, berbulan – bulan, perasaanku masih tidak menentu, perasaanku masih tertuju padanya, perasaanku sama sekali tidak tertuju pada pacarku. Mengapa aku masih ingin bersamanya? Mengapa kini aku ingin selalu berada di dekatnya? Mengapa kini aku bahkan ingin merengkuhnya? Mengapa aku ingin memeluknya? Mengapa aku ingin menciumnya? Apakah salah kalau ternyata aku masih menyimpan perasaan itu?

Aku masih merasakan kerinduanku kepadanya dan tidak pernah bisa melupakannya. Bolehkah aku merasakan perasaan itu kepadanya? Bolehkah aku masih menginginkannya? Bolehkah aku memeluknya? Bolehkah aku mencicipi bibirnya walau hanya sekali? Apakah dia akan memberikan kesempatan itu sekali saja?

Aku tidak tahu kenapa susah sekali untuk membuatnya percaya setelah semuanya terjadi. Aku tidak tahu bagaimana membuatnya mempercayaiku lagi. Aku tidak tahu kenapa sulit untuk melumerkan hatinya yang tiba – tiba membeku secepat itu? Tidak adakah kehangatan dan keakraban antara kami itu bisa kurasakan sehari saja, hingga benar – benar melumerkan kebekuan itu selamanya.

Siang itu masih kulihat ia duduk sendirian, seperti biasa di pojok itu, menikmati santap siang dalam kesendirian. Ia sama sekali tidak menoleh walaupun ia menyadari aku menatapnya. Ia pasti masih marah padaku. Tapi apakah aku melakukan suatu kesalahan? Tapi bukankah dia juga yang telah menyarankan hal ini? Tapi kenapa aku merasa bersalah dan malu kepadanya.

Kini, tiap kali kudekati dia saat jam kerja, dia akan menjawab dengan sangat singkat, padat dan jelas. Tanpa tambahan gurauan, tanpa basa – basi. Begitu sinis. Apakah begitu bersalahnyakah aku baginya?

Namun seperti hari ini, saat dia dalam masalah pelik dalam kerja, dia selalu tampak tegar, tidak muram namun benar – benar diam. Aku tahu sebenarnya dia ingin menumpahkan perasaan sedih dan marahnya menjadi tangis seperti yang dulu pernah ia lakukan dalam sepi walaupun tak ada orang lain yang tahu selain aku. Ia benar – benar rapuh. Wanita kuat namun sebenarnya sangat rapuh.

Aku masih berdiri termangu menatap ia melangkah ke ruangan dimana dia yang dulu pernah tanpa sengaja melihat kebodohannya. Mengapa karena ingin menghindariku dia membalaskan hal itu padaku? Kenapa ia mencium pria itu? Kenapa ia begitu bodoh?

Mengapa dia melakukan tindakan konyol itu?
Apakah karena dia menyukai pria itu?
Apakah dia benar – benar punya perasaan terhadap orang itu? Apakah dia benar – benar mencintai pria itu?
Apakah pria itu jauh lebih baik dariku? Aku tidak suka dia bersamanya! Aku benci dia dipelukannya, aku benci dia diciumnya. Bahkan, aku juga benci telah melihatnya!

Amarahku memuncak yang benar – benar ingin menghempaskannya untuk sebuah jawaban, apakah ini merupakan sebuah pembalasan padaku? Aku tahu sebenarnya dia memiliki perasaan yang sama denganku, aku bisa melihatnya dari cara dia memandangku, menatapku, memperhatikanku dalam kesendiriannya, terlalu sering bisa kurasakan.

Kini, setelah pria itu benar – benar tidak lagi berada di bawah naungan perusahaan ini, aku benar – benar harus mendapatkan sebuah jawaban dari dia. Aku memberanikan diri walaupun nantinya dia akan menghindar bahkan menolakku lagi. Setidaknya sudah kuusahakan.

Keluar kantor dan menuruni tangga menuju basement hingga tiba di ujung koridor dan berhenti di depan sample room. Ada sebuah meja usang dan dia menghampiri kemudian duduk. Aku memperhatikannya dibalik tembok. Dia bergeser dan duduk dengan dagu tertumpu pada lutut. Ia menenggelamkan wajahnya dalam dekapan tangan dan lututnya. Bisa kudengar isakan tangisnya. Dia menangis, tetapi aku masih diam termangu, dalam persembunyianku. Cukup lama ia kubiarkan ia sendiri mendekap dirinya dan menumpahkan semua kekesalan dan sedihnya.

Dia memang tidak sekuat penampilannya. Setidaknya itu yang selama ini bisa terlihat di wajahnya.

Walaupun aku tak berhak menganggunya kali ini, tapi aku benar – benar ingin ada bersamanya saat ini, walaupun hanya sebentar. Perlahan aku melangkah mendekatinya. Aku masih berdiri bergeming, diam tanpa ingin mengganggunya, walaupun sebenarnya aku sudah mengganggunya. Sial, umpatku dalam hati. Dia pasti akan mencaci makiku kali ini karena ia tidak ingin aku ada di dekatnya. Masih bisa kulihat tubuhnya bergetar terisak. Ingin kubelai dan kusentuh dia. Tapi tak urung batinku itu hanya semakin menyiksaku saat berdiri masih menatapnya dan memandangnya saja tanpa bisa melakukan apa pun, setidaknya sesuatu yang bisa membuatnya tenang.

Ingin rasanya aku beranjak karena aku mungkin tidak dibutuhkan di sini, saat ini. Saat aku hendak berbalik dan beranjak pergi, tiba – tiba tanganku tercekat. Aku tersentak tetapi aku diam saja. Aku diam sejenak. Aku menunduk sambil menoleh ke arah samping bahuku. Tangannya terasa sedikit basah dan mengenggam erat tanganku. Sejenak bisa kurasakan ada aliran hangat yang menjalar dari tanganku hingga ke seluruh persendian tubuhku yang membuatku mulai merasa lemas, terasa ringan untuk tetap berada ditempat itu, diam tanpa gerak.

Aku berbalik. Kuraih tangannya perlahan dan kugenggam lembut. Tangan itu basah dan hangat. Dia masih terlihat menunduk diam. Wajahnya terbenam dibalik tirai rambut bob pendeknya yang terlihat acak-acakan.

Perlahan kemudian ia mengangkat wajahnya. Wajah yang semenjak pagi tadi terlihat berseri tanpa beban kini dalam sekejap telah berubah kuyu, mendung, kedua mata merah dan basah sembab . Ia menatapku dengan pandangan kosong. Ia masih terisak. Aku tidak tahu ada apa dengannya hari ini. Apakah dia sakit? Apakah masalah pekerjaan? Apakah masalah keluarga? Apakah masalah dengan kekasihnya? Tapi buru – buru semua itu kutepis karena aku tidak mau kebersamaan ini berlalu, untuk saat ini.

“Kau mau temani aku sebentar disini, sebentar saja. Tidak lama. Temani aku. Setelah itu kau boleh pergi. Setelah itu kau boleh tidak menghiraukanku. Tapi sekarang, kumohon kali ini, aku ingin kamu temani aku, sebentar saja?”, ujarnya lirih dengan nada yang parau. Dia masih terisak. Wajahnya semakin basah saat airmata itu kembali mengalir dan wajahnya semakin memerah dan matanya semakin sembab.

Tanpa menunggu perintahnya lagi, aku menghampirinya dan mendekapnya dalam dekapan tubuh kurusku. Aku duduk disebelahnya. Kudekap dia erat – erat dan kubiarkan dia tenggelam kembali. Dalam tangisnya. Kubiarkan dia terbenam dalam dekapanku, lama. “Menangislah jika itu bisa membuat perasaanmu lebih lega, lapang dan tenang.

Jangan sisakan emosi itu mengganjal, keluarkan semua kekesalan, marah dan sedihmu. Menangislah. Aku akan masih ada disini, bersamamu hingga kau benar – benar sudah merasa lega dan lebih tenang”. Lama kubiarkan dia menumpahkan tangisnya. Membuat tubuhku terasa semakin basah oleh airmatanya.
Namun tidak aku pedulikan. Asalkan aku tetap ada disana, bersamanya.

Cukup lama juga aku dan dia terpekur menunduk diam dihadapanku, begitu dekat hingga bisa kurasakan hangat nafasnya menghembus di wajahku yang semakin mengalirkan kehangatan dalam tubuhku mengalir dengan cepatnya. Tangisnya sudah mulai mereda. Kini yang tersisa adalah wajah basah, penuh keringat dan isak nafasnya yang terasa berat. Ia menyeka sisa airmatanya dengan sapu tangan merah yang kuberikan padanya.

“Sapu tanganmu jadi basah. Dan aku masih harus mencucinya karena disini masih tersisa semua kekesalan dan amarahku. Kamu tidak mungkin bisa membawanya pulang dengan keadaan kotor seperti ini”, katanya sambil sedikit bergurau dengan suara serak dan parau dan hidung yang terlihat semakin merah. Terlihat rona merah di pipinya saat pandangan mata kami bertemu. Aku menatapnya lekat – lekat. Wajahnya terasa begitu dekat dan bahkan terasa semakin dekat yang kemudian membuat aliran darah di seluruh pembuluh darahku semakin deras mengalirkan kehangatan yang timbul dari keadaan kami yang teramat sangat dekat ini.

Perlahan dan tanpa sadar kuraih tangannya dengan lembut dalam pelukanku. Dia diam masih menatapku dengan pandangan kosong tanpa ekspresi seakan menunggu sesuatu yang tanpa sadar bisa menghampirinya. Wajahnya terangkat perlahan dan menatapku kosong yang semakin membawaku hanyut kedalamnya, menghampiri, melayang dan tanpa sadar pun menyentuh pelan bibir sensual yang terasa agak gersang namun kini perlahan terasa semakin lembut dan lembab. Bibirnya menyambut bibirku. Belain lembut bibirku semakin dalam dan tanpa sadar aku sudah mengulumnya.

Namun aliran kehangatan itu terasa begitu cepat menjalar di antara pembuluh dan persendian disekujur tubuhku saat tanpa sadar tanganku meraihnya lebih dalam dan menenggelamkannya dalam tubuhku. Kedua tangannya pun silih berganti membelai pinggangku dan merayap lembut ke punggung kurusku dan yang kemudian membuatku semakin menariknya dalam dekapanku. Bibir dan mulut kami kian beradu. Tubuhnya yang sintal tenggelam dalam dekapan tubuh kurusku, sementara tanganku perlahan merayap di kedua tangannya silih berganti, kemudian perlahan naik dan mengelus pundaknya. Kehangatan itu kian kurasakan seiring belaian lembut bibirnya yang semakin memacuku. Kedua tanganku meraba leher yang membuatnya semakin tersentak dan tertahan tak bisa terlepas dari kunci bibirku. Tanganku membelai bahu lebarnya dan menguncinya seakan aku tidak mau melepaskan kebahagiaan yang mendekapku saat itu. Kepalanya terasa begitu kecil dalam satu dekapan tanganku yang lebar. Belaian bibir dan mulutku semakin kuat mencengkeram dirinya.

Tanpa sadar kedua tubuh kami telah pula saling menempel dan melekat. Bisa kurasakan aliran kehangatan tubuhnya menjalar dan memenuhi sekujur tubuhku. Tubuh kami saling melekat dan mendekap walau hanya terpisah selembar kain pakaian yang melekat ditubuh kami. Namun yang kurasakan adalah aliran kehangatan dan kebahagiaan saat belaian lembut bibir dan mulut hingga belaian lembut lidah basah kami yang sudah saling beradu dan menikmati keindahan dan kebahagiaan kami berdua, saat itu.

Aku belum pernah merasakan kebahagian seperti ini. Menciumnya adalah keinginan dan hasrat yang terpendam yang pernah kuidamkan selama ini. Penantianku akan kebungkamannya selama ini, benar – benar telah tertumpahkan dan ia telah benar – benar merasakan perasaan yang telah kupendam selama ini, yang saat ini semua itu melebur bersama dengan perasaan yang juga ia rasakan, aku benar – benar yakin akan hal itu.

Kami tidak peduli lagi dengan pakaian kami yang telah sama-sama kucel dan kusut. Kami hanya menumpahkan perasaan kami, berciuman dan bercumbu satu hari itu. Dia kekasihku, dia milikku, dia segalanya bagiku, saat kami bersama – sama kala itu.

Ia menatapku sambil tersenyum dan tanpa melepaskan pelukannya. Senyum bahagia dan menenangkan yang belum pernah kulihat menghias wajahnya selama ini. Aku membelai punggung dan pundaknya. Ku kecup bibirnya lembut dan ia membalasnya. Senyumku mengembang. “I love thee”, ucapku lirih. Kecupanku membelai bibirnya sekali lagi. Kutinggalkan dia melaju dan berpisah di simpang jalan.

Malam hari itu, aku benar – benar tidak bisa melupakannya. Aku tenggelam dalam keheningan malamku dan masih membayangkan kebahagiaanku saat itu. Dia seakan menghiasi dan memenuhi pelupuk mataku. Aku masih membayangkan kini ia benar – benar miliku, hingga mataku sama sekali tidak mau terpejam hanya membayangkannya. Saat jelang tidur aku teringat untuk memberikan ucapan selamat malam padanya. Kudengar sahut parau telpon di seberang sana namun aku tidak mau mengganggunya.

Mataku benar – benar berat namun aku merasakan kehadiran dia malam itu, benar – benar di sebelahku, di dekatku. Ia membelai wajahku dengan lembut. Tangannya terasa masih hangat namun tidak sehangat saat itu. Mungkin karena hawa yang begitu dingin malam ini. Mata kantukku masih bisa melihat paras ayu namun sederhana yang telah membuatku bahagia hari ini. Namun ia terlihat lebih cantik malam ini. Rambut pendek bob yang tersisir rapi dan gaun serba putih lembut yang ia kenakan, benar – benar cantik. Aku merasakan ketenangan dan kenyamanan saat memejamkan mataku yang sudah sangat mengantuk.

“Selamat malam dan selamat tidur juga. Aku sayang kamu”, ujarnya lirih. Tangannya membelai wajahku kemudian mengecup keningku. Dingin, dingin sekali kurasakan kecupan bibirnya.

Keesokkan harinya aku bangun dengan perasaan yang benar – benar membahagiakan. Saat bangkit dari pembaringan, kulihat sebuah sapu tangan merah yang kuberikan padanya kemarin, terlipat rapi di meja dekat pembaringan.

Ku pegang dan bisa tercium wangi, wangi parfum yang biasa ia pakai. Dia di sini kemarin, kemarin malam, di kamar ini, menemaniku tidur, membelaiku dan mengucapkan selamat malam padaku.

Namun hal ini semakin membuatku bersemangat untuk bertemu dengannya pagi ini.

Hari ini aku ingin dia tahu perasaanku dan menyatakan niat seriusku terhadapnya. Ada segudang keinginan yang ingin kuutarakan kepadanya. Ada segudang harapan yang benar – benar ingin kuutarakan kepadanya. Aku ingin menghabiskan hidupku hanya bersama kekasihku sehari, kekasihku kemarin, kekasihku hari ini, kekasihku esok, kekasihku untuk selamanya.

Pagi ini, semua hal bercampur baur saat memasukki halaman parkir kantor. Aku membayangkan dia berdiri menyambutku pagi ini, di depan koridor seperti hal serupa yang dulu sering terjadi tanpa sengaja.

Namun hari ini terasa begitu lengang, tidak secarah biasanya. Suasana terasa begitu hampa. Walau merasa aneh, namun hal itu tidak menyurutkan niat semulaku.

Aku melangkah ke arah lobby, hari ini hanya terlihat security yang berjaga dan berdiri di sebelah meja receptionist. Ia melihatku dan melempar senyum. Ia terlihat murung setelah itu. Aku juga berusaha memberikannya semangat deperti aku begitu bersemangat hari ini.
Aku berjalan ke dalam, namun aku belum melihat sosok dia melintas di hadapanku.

Kemudian aku memasuki office. Semua orang terlihat berkerumun dan berwajah muram. Beberapa rekan – rekan ku terlihat menangis. Mengapa mereka menangis? Mereka para pria mengapa menangis? Aku masih berusaha memberikan semangat pada mereka. Namun tidak biasanya aku masih belum melihat sosok dia.

Kemudian aku melihat ke arah ruang kaca, ruang kerja dia.
Bukan sosok wanita, tapi sosok pria. Siapa dia? Kenapa dia berdiri membelakangiku? Tapi kenapa pria itu mengambil beberapa barang milik dia dan dimasukkan ke dalam box. Aku melihat pria itu mengambil bingkai yang berhiaskan wajah dia. Aku penasaran. Kemudian terbersit pikiran tentang pria mantan rekan kerjaku muncul lagi.

Darahku terasa mendidih dan mukaku terasanya memanas. Kemudian aku beranjak dan bergegas ke ruangan itu. Aku buka lebar – lebar pintu kaca itu, dengan maksud untuk mengusirnya pergi. Tapi sebelum sempat aku menghardik, pria itu menoleh dari balik punggungnya. Suara dan emosiku saat itu tercekat. Seketika itu aku merasa sedikit geli, melihat sosok pria yang ada dihadapanku, pria yang tingginya lebih kurang sepuluh sentimeter lebih pendek dariku.

“Ah, kau sudah datang,” kata pria itu. “Maaf, aku tidak menyadari kedatanganmu”. Serta merta ia meletakkan kembali frame photo itu di meja. Ia mengambil tissu di meja dan mengusapkan ke wajahnya, ia masih membelakangiku. Ia meremas tissu itu dan memasukkannya ke saku. Kemudian dia berbalik. Wajahnya terlihat muram.

“Bapak?”, tanyaku. Aku merasa sedikit heran dengan kehadirannya pagi – pagi itu. Tidak biasanya Direktur muncul sepagi ini. Biasanya ia baru muncul tiga puluh menit lagi, tepay jam sembilan pagi. Tapi kini ia sudah berdiri di hadapanku, mendahului kedatanganku pagi ini. Tidak biasanya.

Entah kenapa ruangan ini terasa begitu lain. Lengang. Ada sesuatu yang hilang. Aku memperhatikan isi box yang penuh barang – barang milik dia.

“Kenapa barang – barang ini Bapak? Kenapa semuanya begitu kosong disini? Dia dimana? Memangnya dia belum datang? Bukankah biasanya dia orang yang paling rajin hadir. Kenapa dia tidak ada hari ini”, tanyaku.

Keadaan terasa semakin aneh. Kenapa tiba – tiba aku diterjang perasaan bersalah. Apakah dia mungkin berhenti dan tidak mengatakan apapun. Dia resign tanpa mengatakan apa – apa kepadaku. Tiba – tiba segala pertanyaanku mengarah ke niatnya ingin berhenti selama ini. Tapi dia sudah berjanji padaku kalau seandainya dia berhenti, aku adalah orang pertama yang ia beritahukan, setidaknya itulah janjinya padaku.

Direktur menatapku heran. Seolah masih banyak hal yang ingin ia utarakan kepadaku hari ini. Aku terdiam. “Dia sudah pergi, dia tidak akan pernah kembali lagi”, ujar Direktur sambil beranjak. “Tabahkan dirimu, Nak”, tambahnya lagi sambil menepuk pundakku.

Aku menoleh dan menatapnya berjalan keluar. Aku melihat melihat beberapa rekan menghampiri Direktur. Ia memegang kepalanya seperti tidak percaya. Seorang rekan kerjaku yang lain berusaha menenangkan dan menepuk pundaknya.

Namun ada yang mengusikku sejak tadi. Frame photo dia dan sebuah koran pagi yang terlipat di meja kerja. Aku menghampiri. Di sana terpampang photonya, persis seperti photo frame itu. Dia terlihat cantik. Tapi yang benar – benar membuatku tersentak kaget dan tidak pernah kubayangkan sebelumnya adalah bunyi deadline koran itu.

SEORANG WANITA MUDA TELAH DITEMUKAN TERGELETAK MENJADI MAYAT DI PERSIMPANGAN PERTIGAAN JALAN IMAM BONJOL. IA DIDUGA ADALAH KORBAN TABRAK LARI......

Tidak mungkin! Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin ini terjadi padaku? Kenapa ini harus terjadi padaku? Tidak mungkin ini menimpanya? Tidak mungkin itu dia. Aku benar – benar tidak bisa mempercayainya. Ini tidak mungkin! Ini berita bohong! Mereka pasti salah orang. Mereka tidak mungkin benar! Ini bohong!

Seluruh persendianku lemas dan lumpuh. Urat syarafku melemah. Tak ada yang bisa kupikirkan selain ketidakpercayaan atas berita itu. Aku menyeruak pergi meninggalkan ruangan dia, meninggalkan kantor, mencari kebenaran. Itu bukan dia, pasti itu bukan dia. Dia pasti masih dirumah, dia baik – baik saja.

Aku benar – benar tidak mempercayainya. Aku sudah berada di depan rumahnya. Disana sudah terlihat Bapaknya dan beberapa orang dari banjar mempersiapkan upacara pemakaman. Semua mengenakan pakaian serba hitam. Aku tidak melihat Ibu. Aku berjalan terus ke dalam. Beberapa orang tampak menoleh ke arahku. Aku berjalan gontai dan wajahku benar – benar kusam. Wajahku basah dan airmataku seakan tidak pernah berhenti mengalir.

Bagaimana mungkin ini terjadi padaku. Bagaimana mungkin kekasihku kini benar – benar telah pergi meninggalkanku. Aku benar – benar menyayanginya. Dia kekasihku, kemarin kami masih menghabiskan waktu bersama, walaupun satu hari, tapi dia benar – benar kekasihku.

Langkahku semakin lemas, tatkala melangkah ke balai tengah, aku melihat pajangan photo besar wajahnya terpampang di depan pembaringannya. Tangisku benar – benar tak tertahankan. Tenggorokkanku tercekat, seakan nafasku terhenti. Kekasihku terbaring di sana, diam untuk selamanya. Aku berjalan menaiki beberapa buah lantai tangga dan berdiri disebelah photo besar itu. Seorang wanita paruh baya dengan wajah kuyu, sembab dan penuh guratan – guratan kisah di wajahnya, berjalan menghampiriku. Aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya. Tapi dia pasti ibunya, wajahnya mirip dengan dia, kekasihku. Ia menatapku dengan menahan sedih. Tampaknya dia tidak sanggup menahan penderitaan itu sendiri. Sama sepertiku. Ibu memegang tanganku. Kemudian mengajakku mendekati tubuh yang kini terbaring kaku di sana dan terbungkus kain. Aku berharap itu bukan dia. Benar – benar jangan dia, aku tidak akan sanggup melihatnya.

Ibu menyibak kain yang menutupi tubuh itu. Nafas dan tenggorokkanku benar – benar tercekat. Aku benar – benar merasa sangat lemas. Itu dia, itu memang benar – benar kekasihku, dia benar – benar terbaring diam, terbaring dan terbujur kaku dengan tubuh yang penuh dengan luka, memar yang tentunya teramat sangat sakit sekali. Aku terisak tanpa bisa berkata – kata.

Kugenggam tangannya. Dingin sekali dan lunak serta keriput. Kukecup tangannya. Kemudian kukecup keningnya dan aku semakin terisak. “Tidurlah, sayang. Aku sudah disini. Aku ada disini. Aku disampingmu. Aku akan bersamamu, akan menemanimu, akan mendampingimu disini dan mengantarkanmu ke peristirahatan terakhirmu”, ucapku lirih. Aku harus disini, harus bersama dia dan harus mengantarkan dia. Aku sayang dia.

Ibu semakin terisak. Ia tidak kuasa menahan sedih dan tangis. Aku raih tangannya. Aku genggam tangan Ibu. Aku jatuh terduduk dan Ibu memelukku. Aku sudah kehilangan dia untuk selamanya.

Lama aku terpekur duduk diam di samping pembaringannya. Aku melihat seorang pria muda melintas mendekati bale tengah, dia pastilah Adiknya, wajahnya terlihat kusam, raut kesedihan tampak diwajahnya. Ia berjalan mendekati Ibu dan memeluknya. Ia memandangku. Ia merogoh sesuatu di balik kain yang menyelimuti kekasihku. Ia mengambilnya dan menyodorkan padaku.

“Bli, Mbok meninggalkan ini. Tiang rasa ini untuk Bli. Tiang tidak tahu apa isinya. Sepertinya Mbok tidak sempat mengirimkannya kepada Bli. Tiang rasa ini pesan terakhir dari Mbok. Kata Bapak, orang – orang sekitar sana yang kemarin menolong Mbok, yang menemukan Mbok kemarin malam, memberikan ini kepada Bapak saat di rumah sakit. Kata Bapak, orang itu menemukan benda ini masih tergenggam erat di tangan Mbok. Terimalah Bli”, kata pria itu terbata-bata. Matanya berkaca – kaca, wajahnya menegang. Ibu masih bersandar dibahunya yang lebar dan masih terisak. Tangan kiri Adik mengulurkan sebuah telpon celular milik dia. Kuterima benda itu. Tangisku masih berurai. Kuamati sebentar benda itu ada setitik noda darah di antara sela – sela tombol keyboardnya. Benda kesayangan dia, benda terakhir dia, kugenggam benda itu dengan kedua tanganku sambil kemudian aku menatap wajah Ibu dan Adik secara bergantian. Adik mengangguk.

Aku melihat sebuah icon amplop message. Message yang overload, pikirku. Masih tutatap benda itu. Aku sebenarnya tidak ingin membukanya. Tapi kupikir ini adalah pesan terakhir dari dia. Kemudian aku tekan tombol pembuka, untuk melihat pesan apa sekiranya yang dia tinggalkan untukku. Ada sebuah pesan dengan inisial namaku tertera di sana.... I Love Thee *)....... Tanganku semakin gemetar. Keringat dingin membasahi telapak tanganku.

Aku memperhatikan waktu yang tertera pada pembuatan pesan itu. Pesan terakhir tersampaikan jam sembilan lewat tiga puluh menit. Aku tercekat seluruh tubuhku terasa panas. Pikiranku menerawang ke kejadian malam itu.

“Saat itu jelang waktu aku tidur, jam sembilan malam aku menelpon Selamat Malam pada dia. Saat itu, dia sudah mengalami peristiwa naas itu. Saat itu dia sudah tergolek kesakitan teramat sangat, saat itu dia masih sadar, di persimpangan jalan itu. Saat itu pasti aku menelpon dia. Saat itu dia menjawab telponku, tapi dia masih tergeletak kesakitan....Seharusnya saat itu aku bisa menolongnya, seharusnya saat itu aku datang menolongnya, seharusnya saat ini dia masih bersamaku. Seharusnya dia tidak terbaring disini. Seharusnya ini tidak terjadi. Seharusnya, seharusnya ..........”, ucapku terbata – bata. Pikiranku berkecamuk pada kejadian itu. Aku berteriak seperti kesetanan. Wajahku memanas. Aku tidak bisa berpikir apapun. Semua ini seharusnya tidak perlu terjadi. Tapi kenapa ini benar – benar terjadi. Kenapa aku tidak menyadari hal ini kemarin? Kenapa aku membiarkan dia terbaring menderita di jalan itu? Kenapa aku bisa membiarkan dia kesakitan di jalan itu. Kenapa aku tidak datang menolongnya? Kenapa aku tidak menyadari apapun saat itu? Manusia macam apa aku ini?

Tangisku kian tak tertahankan. “Aku seharusnya bisa menyelamatkan dia. Dia seharusnya masih ada sekarang, dia seharusnya tidak terbaring di sini”, aku menatap sosok yang terbujur kaku itu. Ibu memelukku. “Sudahlah, ini sudah kehendak Hyang Widhi. Kita harus merelakannya. Kita tidak boleh menentang-NYA. Jangan. Biarkanlah dia istirahat. Sekarang pastilah dia benar – benar tenang dan bahagia, istirahat disana”.

Hari berikutnya aku masih menemani dia, lima hari hingga hari peleburan jasadnya dan yang menyucikan jiwa dan raganya. Tanganku memeluk photo besarnya sambil menatap tubuh itu habis melebur dan hanya akan meninggalkan sisa abu yang akan disimpan di sanggah keluarga.

Alunan iringan gamelan selonding mengiringi upacara pelebonannya seakan mencerminkan tangis pilu kepergiannya. Sementara lantunan kidung pengiring dari para wanita dari sanak saudara makin nyaring, gemanya terasa begitu memiris hati. Suara isak tangis masih terdengar mengiringi. Aku menatap diam kobaran api peleburan itu. Jasadnya kini hampir habis tanpa sisa, begitu cepat. Sesaat kemarin aku masih memeluk tubuh itu, namun kini sudah musnah dan hanya menyisakan kenangan. Tubuhku terasa ringan, sangat ringan, terasa ikut melebur bersama jasadnya dalam kobaran api peleburan itu.

Tiba – tiba aku teringat ucapannya satu hari itu, saat aku berdua ditempat itu. “Do you know what? I don’t know why, but I’m really sure. I’ll help you, to find your destinied soulmate. You’ll find your soulmate, I’ll find her for you, I’ll bring her for you, someday”, ujarnya seraya berbisik ditelingaku. “Jadi kamu tidak akan terombang – ambing lagi seperti sekarang. Menunggu lama seperti sekarang. I want you to be happy. Be happy forever”.

Aku rengkuh dia, memeluknya erat. “I already find my soulmate. I do find her, I do find that is you. I already have you. You are my soulmate. You are mine, always and forever. Remember one thing, forget other things. All I want is you, that for sure”, jawabku parau. Aku tidak menginginkan apapun selain dia berada di sampingku saat ini, esok, selamanya.

Seperti biasa dia hanya tersenyum, senyum yang tak pernah bisa kulupakan, senyum hangat yang hanya kutemukan pada dirinya, senyum hangat yang selalu ada pada dirinya.

Tak kuasa aku mengingat kembali saat itu. “Selamat tinggal kekasihku, my soulmate, I love thee...”, lidahku kian kelu tatkala mengucapkan kata – kata itu lagi.

Hari ini, aku merasa tubuhku sangat ringan seperti hendak melayang. Aku melangkah gontai. Meja itu, di pojok ruangan itu, meja dia biasa duduk dan menikmati santap siangnya. Dia akan ada duduk disana tanpa ekspresi sedikit pun dan menatap dingin ke arahku. Tanpa seulas senyum.

Aku menoleh dan dadaku benar – benar berdesir. Aku masih melihat sosok dia di sana. Duduk menunduk dan sendiri. Typikal tubuhnya tidak bisa aku lupakan. Rambut pendeknya diikat kebelakang. Kulitnya tidaklah seputih susu namun bersih dan berseri.

Dia mengangkat wajahnya. Dia menoleh dan pandangan kami bertemu. Wajah dia yang sama, mata yang sama tersembunyi di balik kacamata bening tanpa bingkai. Manis seperti dia. Dengan setelan serba putih itu dia terlihat sangat cantik bagiku. Dibibirnya tersungging senyum, senyum dia yang sama seperti saat itu, senyum yang tidak bisa kulupakan dan masih melekat dalam ingatanku selamanya.

Dia akan selalu ada disana, berada disana menatapku dengan senyuman, berada dimana pun dia akan selalu terlihat tersenyum kepadaku, dia yang selalu ada dihatiku, dia yang selalu bersemayam dalam cintaku untuk selamanya. Adieu **) my love, I love thee..........

Denpasar, April 13, 2008


Terjemahan:


*) I love thee = I love you (Old English)

**) Adieu = Selamat jalan (Old English)


For someone I cannot owned, thank you for giving me this inspiration, explicitly ...

Friday, March 6, 2009

Episode 2: Ada Apa dengan Mereka?



Seperti biasa pria - pria di tempat kerja saya pasti rese kalau melihat saya sedikit lain dan berdandan Sabtu ini. Apa dipikiran mereka saya ini hendak melacurkan diri; ketemu pria - pria berduit, ketemu pria tua dan kaya, mau dugem, hendak menari vulgar, atau sederet pikiran kotor yang melintas di kepala mereka! For God, hell no!

Memang salah kalau saya tampil cantik, kalau saya sedikit dandan, kalau saya tampil beda, walaupun itu sedikit saja. Saya tidak tahu entah pikiran apa yang melintas di benak mereka, dan menganggap tujuan saya seperti ini adalah untuk melacurkan diri. Hal ini merupakan pelecehan yang benar – benar keterlaluan.

Seandainya mereka tahu, saya sedikit pun tidak pernah berniat hendak menjual harga diri saya seperti yang mereka tuduhkan kepada saya. Walaupun, di kantor mungkin saya sering menjadi pusat perhatian dan menjadi bulan – bulanan godaan hampir semua pria, tetapi hal itu sesuatu hal yang menjadikan saya kemudian begitu mudahnya dipermainkan begitu saja. Saya lebih menjaga jarak dan memproteksi diri tidak terpancing dengan hal – hal yang akan membuat saya marah atapun merendahkan diri saya.

Entah kenapa, selalu saja ada kesempatan mereka untuk mengolok – olok saya. Terlintas dipikiran saya, betapa sempitnya pikiran mereka yang seperti ini.

Namun, saya sama sekali tidak pernah menanggapi apapun yang mereka komentari. Yang saya lakukan adalah, menyimak/mendengar omongan mereka itu dan kemudian menganggapnya hanya sebagai angin lalu saja. Saya hanya tertawa sendiri, di dalam hati. Saya tidak pernah berusaha menanggapi hal itu secara serius. Saya menganggap mereka terlalu kagum dengan penampilan saya.

Melihat mereka seperti itu, saya menganggap mereka tidak pernah melihat “makhluk indah” seperti saya, tidak pernah melihat hal yang serupa pada pasangan mereka sendiri. Saya hanya berujar sambil tersenyum,” Kasihan sekali kalian, tidak bisa memuji pasangan sendiri, tidak pernah melihat pasangan sendiri cantik, tidak pernah melihat kecantikannya seperti saya saat ini. Kalian hanya bisa menggosipkan orang lain, karena kalian tidak pernah bangga ataupun puas dengan pasangan sendiri. Sungguh kalian benar – benar pria paling tidak menghargai pasangan sendiri. Sungguh kalian benar – benar menyedihkan, saya kasihan terhadap kalian seperti ini. Kasihan sekali kalian”.

Sejauh ini, saya tidak akan pernah menanggapi omongan mereka. Jika saya ingin tampil cantik, itu urusan saya. Terserah apa pun pendapat mereka, saya benar – benar tidak peduli.

Semua omongan yang mereka lontarkan itu, bagi saya tidak ada artinya. Jika hal itu benar – benar menjadikan saya sakit hati seperti saat ini, saya hanya diam. Namun saya benar- benar yakin, apapun yang mereka lontarkan seperti itu, suatu saat akan mendapat balasan sakit hati yang lebih dari yang saya rasakan sekarang.

Ucapan mereka benar – benar seperti sembilu, terlalu menyayat hati. Tetapi hukum karma itu akan benar – benar terjadi kepada mereka, suatu saat. Dan jika hal itu benar – benar terjadi kepada mereka, hal yang bisa saya lakukan adalah saya hanya bisa tertawa melihatnya, tertawa dengan sangat puas sekali, sambil berkata, ”Sekarang, kalian benar – benar merasakan bagaimana sakit hati saya dulu, kan?”.

Tuesday, February 3, 2009

Life is always Black and White, which side are you?



Seorang kolega di GB mempunyai semboyan ini, entah apakah mencerminkan dirinya atau hanya sebuah sensasi semata. Ini bukan masalah bagi saya.

Hal ini sebenarnya tergantung bagaimana kita menyikapinya. Seperti cerminan karakter diri yang selalu berada pada 2 sisi, hitam dan putih, ya dan tidak, benar dan salah. Just like light came upon the shadow, shadow come before light. Even very littlest light, you can see shadow approach.

In my opinion, life is not always Black and also not always White. Sometimes reveal both, either Black or White. Sometimes, we act both black and white. Black is identically with “the evil” side of me, in the other hand white is identically with “the angel” side of me.

Kedua sisi ini menjadi cerminan saya saat bertindak dan mengambil keputusan. Kita tidak bisa semata – mata memihak salah satu pihak, karena harus selalu melihat segalanya dari 2 arah, mendengar dari 2 sisi yang berbeda, menarik kesimpulan setelah menyimak dari 2 sisi yang berbeda. Semua pendapat, keluhan, protes seyogyanya harus di dengar.

Life is NOT always Black and NOT always White, which side are you?

Sunday, January 11, 2009

Why "Kantong Ide" ?


July 24, 2007

Why I called this, "Kantong Ide"? Well just because I like it. Elle est belle! Elle est unique and finally weird isn’t it? I’ll tell you about more things about it.

When I was in Elementary school, I have my first reading, BOBO! Indeed, I like it so much. It’s a magazine that is very popular at that time. I wonder this magazine was still exist today, I hope so! Then, there was a great continued story, “Pak Janggut dan Kantong Ajaibnya”. What can I say this in English? Boardman and the Magic Pouch/Bag, I supposed. Lately, I got his real name in Dutch Douwe Dabbert, English Danny Duddle. It’s a very classic story and background. I even still have the collection an original pieces of pages from the magazine. Then, I finally find the long lost complete comics downloaded in a source (Thanks to the source, I forget the name was).

This short guy, he is a short little old guy with a white beard and bowl head. He always wear a green coat and carry a green magic pouch. He is so honest, wise man, low profile and whatever he is. He’s so down to earth person. You’ll see him like a hobbit or dwarf or a Santa. Yeah, the last one perhaps the most appropriate to describe this old man.


There are a lot things he taught about a kindness to every people he met. He even so smart. His magic pouch, (that was the main “theme” of my blog), he always carry and export many things whatever he wants. I supposed, there must still a lot of things that he will give and carry to his magic pouch. He will spread kindness and smartness then take and give many valuable things to people.

Telling you the truth, this wise short guy story inspired me! So, as Pak  Janggut have his own "Magic Bag", so I (finally) have my own "Kantong Ide" that will collect all ideas I have. I may call it's  Kantong Ide / Pouch of Idea / Poketto Rinnen Monogatari. Did I correctly spell this thing? I like it, but I suffer by it as well, since I cannot stop thinking. I love myself of having this "talent", really??? Well, I just want to share my thought, my opinion, my idea, my experience, etc. and hope everyone will enjoy it! Then, I would like to say that this is my FREEDOM of writing many things I like, this is where I can express myself, the REAL me indeed. YAY!!!! I finally find a field where I can share my thoughts, my opinion about one thing, ANYTHING! I like it, I like it!

Other Blog

Followers

Search This Blog