Sunday, November 8, 2009

Episode 9: Ada apa sebenarnya?

Tak ada yang mengerti dengan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Tak ada yang mengerti apa sebenarnya tujuan mereka. Tak ada yang mengerti ke arah mana hendak mereka lalui.
Semua absurd, semua semu, semua maya, dan hanya meninggalkan sekelumit permasalahan dan pertanyaan yang semakin tidak bisa kami mengerti.
Ada apa sebenarnya dengan semua ini?

Mengapa keadaan menjadi semakin tidak menentu, mengapa semakin lama semakin tidak ada kejelasan, mengapa keadaan menjadi sangat pelik seperti sat ini. Setidaknya ada satu hal yang selalu menjadi pertanyaan kami.
Ada apa dengan semua ini?

Kami tidak pernah membayangkan jika hal ini benar – benar menjadi sebuah rumor di antara kami, rumor yang semakin tidak menyenangkan, rumor yang semakin menyesakkan kami serta membawa kami selalu ingin bertanya.
Ada apa dengan semua ini?

Permainan saling beradu argumentasi, berusaha saling membela diri, berusaha untuk saling memahami satu dengan lainnya, saling membela diri sendiri. Tapi semua itu hanya membawa kami ke arah hal – hal yang semakin tidak bisa dimengerti oleh nalar kami sendiri sebagai orang awam. Namun, ada satu hal yang selalu kami pertanyakan.
Ada apa sebenarnya dengan semua ini?

Makin lama makin di telusuri makin tidak masuk akal. Semakin bodohkan kami, semakin goblokkah kami, semakin konyolnya kah kami?



Kami adalah orang – orang yang tidak punya pilihan, karena kami tidak pernah diperbolehkan untuk memilih. Namun, kami adalah orang – orang yang bisa memilih yang pada akhirnya kami memang harus memilih.

Kami adalah orang – orang yang tidak bisa menentukan apapun karena kami tidak pernah dibiarkan untuk menentukan. Namun, pada akhirnya kamilah yang harus menentukan.

Sebenarnya, kami tidak bodoh, kami tidak goblok, kami tidak konyol, tetapi kami selalu diperlakukan supaya kami terlihat bodoh, terlihat goblok, terlihat konyol.

Tak tahu apa yang hendak kami perbuat berikutnya. Akankah harus seperti ini, akankah tidak bisa tidak seperti ini, apakah tidak ada hal yang bisa menyadarkan kami, bahwa kami berhak untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.

Kemana, dimana, mengapa, bagaimana adalah sekian banyak pertanyaan yang selalu melintas di benak kami. Tetapi tak satu jawaban pun kemudian bisa kami mengerti, tak ada satu pun yang bisa kami pahami.

Selama ini, semua ini hanya merupakan keabsurdan, kemunafikan, kebohongan yang membawa mereka pada keserakahan, kesombongan, kekejaman. Semuanya hanya sandiwara di depan kami, semua hanya skenario yang benar – benar yang mereka ramu dan racik begitu manisnya dan diciptakan untuk membuat kami terlena.

Tetapi hal itu malah membuat kami semakin mengerti dan sadar, bahwa hal ini tidak boleh terjadi lagi. Sudah cukup bagi kami untuk selalu menerima. Sudah cukup bagi kami mengerti mereka. Sudah cukup bagi kami untuk tetap di jalur ini. Kami harus bertindak, jangan pernah terlena pada hal yang serupa begini. Sekarang atau tidak sama sekali. Kami tahu ke arah mana kami melangkah ingin selanjutnya.

... semua, tak akan ada lagi, tidak boleh terjadi lagi dan jangan pernah terjadi lagi ...

Kami adalah kami, mereka adalah mereka, semua tidak bisa diubah, namun semua suatu ketika pasti berubah, memang harus berubah, dan harus berubah ...

Apa yang bisa kami lakukan saat ini hanya diam, tapi kami sebenarnya tidaklah pernah diam.

Kami adalah kami dengan apa yang kami miliki saat ini, entah sampai kapan kami bisa berada di jalur ini. Kami suatu saat memang harus meninggalkan semua ini, menapaki sebuah jalur baru, entah apakah jalur itu akan tetap sama, namun kami yakin kami pasti bisa melaluinya, sama halnya kami bisa melalui hal yang saat ini sedang kami hadapi.

Kami hanyalah kami dengan apa yang kami miliki, kami hanya bisa melakukan sebatas ini, namun kami tidak akan pernah seperti ini untuk selamanya.

Mereka bisa melakukan apapun saat ini, tetapi mereka tidak bisa melakukan hal itu untuk selamanya, karena kami bisa melakukan apa yang tidak bisa mereka lakukan.

Kami hanya mau, kami hanya ingin, kami hanya hendak melakukan apa yang benar – benar seharusnya menjadi milik kami, apa yang menjadi hak kami, apa yang menjadi kemampuan kami.

Mereka adalah mereka, karena itulah mereka, karena mereka bukanlah kami, karena mereka hanyalah mereka, dengan semua yang mereka banggakan.

Mereka tetap ada di jalur mereka, hingga kapanpun, akan tetap di jalur itu. Entah apakah mereka bisa melakukan semua itu selamanya, namun hal itu bukanlah yang kami inginkan, kami tidak mau seperti mereka, kami hanya ingin apa yang kami bisa.

Suatu ketika, kami pun akan berkata, bahwa kami akan ada dijalur yang mereka yakini saat ini, tetapi semuanya akan terjadi dengan kehendak kami sendiri, yang pastinya sama sekali tidak meniru apa yang telah mereka pernah lakukan pada kami.

Suatu ketika, kami akan melakukan hal yang sama sekali bukan yang pernah mereka lakukan, karena kami tahu apa yang kami mau, kami inginkan, dan kami lakukan, dan semua sama sekali tidak seperti mereka.

Kini, kami adalah kami, mereka adalah mereka, akan terus seperti itu, tak akan pernah ada batasnya ...

*** Finish ***

[September 16, 2009]

Episode 7: Letter to Mr. M




Dear Mr. M,

By the time you read this message, I do finalize my decision. Regret to inform you that I cannot give you the second opportunity. It’s been a very tiresome period for me, really I am. I could not really understand, why you always bother and argue a simple thing?

Every simple thing, always leads to cruelty, every cruelty always leads to disaster, every disaster always leads to, you always know this, NOTHINGNESS. What do you expect from such this situation? We both really unmatched couple from the beginning, since the first disaster happened which lead to break out of the relationship. You declared it, none of me. Three months of no commitment, what’s achievement of relationship was that. It just awakening me from my long long sleep, then I said to myself, that’s it! No more frustrating matter, I’m tired of it. However, living in disguise leads me to a conclusion, I won’t continue this anymore. Twice opportunities is enough for me, since you could not even better than before but getting worst and worst, that’s horrible, so horrible, even I don’t want to be involved anymore, no more!

As for now, I’m the decision maker, NOT you. I cannot really understand a person like yo anymore. I’ll memorize it, mark in well in my head and you know what, I AM SO GLAD TO DO THIS, REALLY I AM! There’s no tolerance for tremendously stubborn person as YOU are.

Last by no mean no least, YOU may still phone me, but I’ll never expect you do that, NEVER!

SO, I prefer if you delete me from you list, FOREVER, as I will delete YOU from MY LIVE, that’s MY PROMISE!

P.S: No regards, that's it ... please do not try to call me at once, thank to you ...

Disassterrific Episode 6: We do Have Similar Feeling At Last



Pernyataan ini saya dengar tatkala Bibi saya mengatakan kalau ada sebuah pengakuan yang dilontarkan oleh saudara saya tersebut. Saya tidak perlu menyebutkan namanya di sini, tetapi dia memang benar – benar ada dan nyata, pastinya.

Dia mengakui kalau saat ini, hubungan antara kelarga dia dan keluarga saya, terutama Bapak dan Papa dia, benar – benar tidak harmonis. Semakin lama hubungan itu semakin menjauh dan menjauh, hingga kini dalam keluarga kami (saya) terkenal dengan istilah cuek.

Saya lega dia mempunyai perasaan itu, benar – benar lega.

Hal ini sebenarnya bukan tanpa sebab musabab. Pertama, karena ada konspirasi terselubung dengan orang luar yang ingin mencelakakan keluarga saya, terutama sekali Bapak. Kedua, karena semakin ‘dijauhkannya’ kami dari segala kabar tentang kesehatan Papa dia. Ketiga, karena kami sudah teramat sangat tidak pernah merasa nyaman dengan kehadiran orang ketiga yang mereka (keluarga dia) sebagai Sang Penolong. Semua itu, sama sekali tidak masuk dalam nalar kami, dan semakin membuat kami sebagai keluarga super cuek, terutama terhadap keluarga seperti mereka.

Sebenarnya, kami tidak sedikit pun merasa menjauhi mereka, namun justru merekalah yang semakin menjauhkan diri dari keluarga besar. Kami sama sekali tidak pernah iri ataupun dendam dengan perlakuan Nenek yang mengakibatkan kami (terutama saya) ‘pada akhirnya’ sama sekali tidak pernah bisa akur dengan Nenek kandung saya sendiri.

Saya sama sekali tidak merasa itu adalah urusan saya. Tetapi karena hal ini, yang kemudian semakin merisaukan Ibu saya dengan ’urusan – urusan yang terasa janggal dan semakin janggal’ yang dilakukan oleh Nenek.

Kembali ke masalah saudara sepupu saya, saya lega kalau dia akhirnya semakin sadar bahwa sekarang keluarga sudah tidak semakin akur. Terakhir saya jadi malas menyapa dia saat Galungan terakhir kemarin, lantaran dia memang nempel sekali dengan Ibunya tersebut. Saya enggan jika menyapa dia dan bersenda gurau dengan dia, si Ibu akan ikut – ikutan nimbrung dan sama sekali tidak saya kehendaki. Sebelumnya, saat saudara saya tersebut itu sakit pun kami di Denpasar sama sekali tidak pernah dikabarkan.

Jadi, lama kelamaan kami sekeluarga semakin yakin kalau mereka memang tidak pernah butuh kami, saudara dekat sebenarnya. Bagi mereka, saudara terdekat mereka adalah saudara dari si Ibu yang memang lebih rajin mengunjungi mereka ke rumah.

Kami sama sekali tidak peduli. Tetapi kami tetap yakin dan selalu yakin, kebenaran selalu yang menang. Jika nasehat sudah tidak lagi ampuh untuk menyadarkan mereka, semoga suatu saat nanti Tuhan benar – benar memberikan mereka pelajaran yang membuat mereka benar – benar sadar dan sepenuhnya sadar pada siapa mereka sebenarnya. Saya yakin dan kami sekeluarga memang punya keyakinan itu.

Dissasterrific Episode 5: My Long Lost Sister


There were a very tremendous and unexpectable surprise I received at the beginning of this year. I never imagined that, yet it appear just the way it is …

Aku sangat terkejut dengan pengakuannya yang blak – blakan. Kala itu, siang hari, saat aku sibuk dengan pekerjaanku. Berhubung pekerjaanku melibatkan banyak pihak, jadi komunikasi pun terjadi via messanger. Kebetulan semua teman memiliki messanger, tidak lupa juga, aku add saudaraku itu.

Tiba – tiba dia mengejutkan aku dengan beberapa kali icon buzz. Aku menyapanya, karena kami memang tidak pernah bertukar kabar selama ini, setidaknya setelah hari Raya Galungan dua bulan lalu.

Awalnya hanya basa basi yang memang terasa semakin basi. Pembicaraan kami terjalin begitu santai, karena saat itu, aku dan dia sedang tidak sangat disibukkan pekerjaan.

Namun entah dari siapa dan mengapa kemudian dia membicarakan masalah pribadi yang hanya urusan kedua orangtua kami, Bapakku dan Papa dia. Dia berbicara panjang lebar dengan begitu semangatnya, dan entah mengapa hanya dia yang mendominasi semua pembicaraan via messanger tersebut.

Aku menjadi terperangah mendengar pengakuan dia segamblang itu. Aku terang benar – benar terkejut dan merasa sedikit aneh dengan gelagatnya tersebut. Dia mengeluarkan semua yang dia ketahui tentang keluarga kami hingga masalah yang seharusnya bukanlah urusan dia dan memang hanya urusan kedua Bapak kami.

Mula – mula, aku kurang yakin dengan apa yang diucapkannya. Aku juga merasa keberatan dengan pendapat dia, yang seolah – olah telah didoktrin untuk hal itu. Aku benci sekali dengan kata – kata ini, tetapi memang itulah yang terjadi.

Aku sama sekali tidak membenarkan maupun menyalahkan ucapannya. Yang aku kagetkan adalah dia dengan gamblang menceritakan semuanya seolah – olah dia tidak per

There’s a very strange surprise once I realized what is really happen in her family. It was beyond our believe. There were something strange really happen there. I really cannot imagine what is actually happened.

A real stranger, who does not ever expected before …

Sist, I’m sorry if you felt that we’re separate this far, so far, therefore we never can even contacted each other anymore. It was hugh surprise for me that you convinced that there’s “a will” in your family. I really refused what you said about our family. I think it was not you who talk like that.

But, I really hope someday we can contact again …

* Dongeng dari Negeri Burung Ufuk Timur *

Kisah Si burung jambul kuning dan sang Burung Garuda




Suatu ketika seekor burung kecil berjambul kuning tampak sebatang kara. Ia berjalan kesana kemari dan kemudian terbang kesana kemari, entah apa yang dicarinya. Ia sendirian, kebingungan, tanpa arah, tidak tahu apa yang hendak ia cari. Entah kemana ia ingin terbang, entah kemana pula arah yang ingin ia lalui.

Beberapa saat kemudian, ia merasa kelelahan. Ia pun hinggap di sebuah batang ranting pohon yang cukup rindang. Lama ia terdiam dan termenung, entah apa lagi yang sedang dipikirkannya.

Tiba – tiba terdengar suara bergemuruh ribut dari suatu arah. Ia menoleh dan serta merta mencari – cari sumber ribut tersebut. Dicarinya suara ribut tersebut sambil kepala mungilnya menoleh kesana kemari. Tak ditemukannya apa yang ia cari, ia pun kembali terbang menyusuri sumber suara tersebut.

Tak beberapa lama kemudian, ia tiba di sebuah padang savanah yang cukup luas yang ditumbuhi banyak pepohonan rindang nan indah. Tak sengaja, pandangannya tertuju pada sekelompok burung yang sedang terbang, riuh bercanda, bermain, di dahan pohon sambil bernyanyi, berkicau, bersenda gurau dengan riang satu dengan lainnya. Nampak juga beberapa di antaranya terbang kesana kemari, mungkin mencari makanan.

Mereka terlihat begitu bahagia bersama – sama.

Lama si burung kecil berjambul kuning memperhatikan mereka. Terbersit di benaknya ia ingin ada dan ikut kemeriahan bersama mereka. Ia ingin ikut bermain, bernyanyi, berkicau bersama dengan mereka.

Si burung kecil berjambul kuning kemudian melihat seekor burung besar yang sedari tadi tampak memperhatikan teman – teman dalam kelompoknya. Ia adalah si burung raksasa, satu – satunya dalam kelompok itu.

Si burung kecil berjambul kuning begitu takjub dengan sosok burung itu. Ia begitu gagah dan bersahaja. Mungkin ialah pimpinan kelompok itu, pikir si burung kecil berjambul kuning. Ia belum pernah bertemu burung sebesar itu dalam hidupnya. Namun ia pernah mendengar kalau si Garuda adalah burung terbesar dalam bangsa burung.

“Ini kah ia si burung Garuda?”, tanyanya dalam hati, sambil sama sekali tak melepas pandangan dari si burung raksasa nan gagah itu.

Rupanya si burung Garuda menyadari kalau ia dan kelompokya sedang diperhatikan. Ia pun berbisik pada seekor burung di sebelahnya. Ia adalah si burung hantu. Si burung hantu terbang mendekati dan kemudian hinggap di sebelah si burung kecil berjambul kuning yang saat itu sedang bertengger di bawah salah satu pohon rindang.

“Mengapa kau tampak murung?”, tanya si burung hantu. Ia menatap si burung jambul kuning serius. Ia penasaran, siapa gerangan burung ini.

Si burung kecil berjambul kuning pun terkesiap dan menoleh. Dilihatnya si burung hantu menatapnya dengan pandangan serius, namun ia hanya diam sambil kembali menatap si burung Garuda dan burung - burung lainnya.

“Dimana kelompokmu, keluargamu, teman - temanmu? Mengapa kau tampak sendiri”, tanya si burung hantu lagi.

Si burung kecil berjambul kuning kembali menoleh. “Mereka pergi, mereka sudah terbang jauh, dan mereka meninggalkan aku di sini sendiri”.

Si burung hantu kemudian menoleh dan menatap kerumunan burung - burung yang mengelilingi si Burung Garuda.

“Apakah kau mau bergabung bersama kami?”, tanya si burung hantu. ”Kau mau ikut kami, kelompok kami?”.

Si burung kecil jambul kuning terkejut, "Bolehkah!?".

Si burung hantu hanya menganggung dan tersenyum sambil mengibaskan kedua sayapnya.

“Sungguh!?”, ujar si burung kecil berjambul kuning gembira. Ia mengepakkan sayapnya kegirangan.

Kemudian si burung hantu membawa dan memperkenalkan si burung jambul kuning kepada si burung Garuda, dan juga burung - burung lain di kelompok itu.

Sejak saat itu, si burung kecil berjambul kuning pun bergabung dalam kelompok si burung Garuda. Si burung kecil berjambul kuning pun diperkenalkan kepada semua anggota kelompok sebagai anggota baru dan beberapa koloni lain burung Garuda. Si burung kecil berjambul kuning begitu menyukai keberadaannya dalam kelompok si burung Garuda.

Di dalam kelompok itu, ia mulai mengenal karakter teman – temannya bahkan si burung Garuda yang adalah penguasa di kelompok itu. Burung lain memanggilnya sebagai Yang Mulia karena ia lah raja dari koloni burung itu.

Si jambul kuning pun semakin mahir dan cekatan. Jika dulu ia hanya si burung kecil berjambul kuning yang tidak tahu apa – apa, tidak bisa apa – apa, tidak tahu siapa pun. Tetapi setelah bergabung dalam kelompok itu, ia pun semakin tahu banyak hal. Ia kini punya banyak teman dalam kelompoknya, bahkan ia juga punya banyak teman dari kelompok lainnya. Ada juga teman - teman baru yang ikut bergabung dalam kelompok itu dan mereka semakin akrab.

Si burung kecil berjambul kuning mempunyai teman – teman dekat dan sahabat, diantarannya si burung berjambul putih dan si burung berjambul merah. Si burung kecil berjambul kuning dan si burung kecil jambul merah adalah teman – teman baru yang mempunyai latar belakang hampir sama dengan dirinya. Mereka pun bersahabat cukup lama.

Namun suatu ketika, beberapa teman – teman dalam kelompok itu, satu per-satu meninggalkan kelompok burung pimpinan si burung Garuda itu. Hingga tiba saat giliran si burung kecil berjambul putih pun merasa sudah saatnya ia harus meninggalkan kelompok itu.

Si burung kecil berjambul kuning menatap sahabatnya sambil mendekatinya.

“Mengapa kau pergi? Mengapa kau harus pergi?”, tanya si burung kecil berjambul kuning.

“Aku sudah cukup belajar. Sudah cukup banyak hal – hal yang aku ketahui dalam kelompok ini, bersama kalian, mereka dan juga kau”, ujar si burung berjambul putih.

“Sudah saatnya pula aku belajar hal baru, yang tidak kuperoleh di sini, yang tentunya bisa kuperoleh diluar sana, dalam kelompok baru ataupun aku sendiri”, tambah si burung berjambul putih.

Benarkah seperti itu? kata si burung berjambul kuning dalam hatinya sendiri, sambil menatap sahabatnya itu menghilang dalam lembayung cakrawala.

Selang beberapa hari kemudian, kini giliran si burung berjambul merah. Mereka saling bertatapan. Sahabatnya itu hanya tersenyum kepadanya. Si burung kecil berjambul kuning menatap sahabatnya itu lekat – lekat, sambil di kepalanya melintas sekian banyak pertanyaan yang membuatnya penasaran.

“Mengapa kau juga pergi? Mengapa kau juga harus pergi?”, tanya si burung kecil berjambul kuning.

“Sekarang giliranku untuk belajar di luar sana. Aku ingin berkembang dan mandiri. Di luar sana masih banyak yang ingin aku ketahui, masih banyak yang ingin kuraih. Aku benar – benar sudah siap untuk menjelajahi dunia ini”, ujar si burung jambul merah berbinar - binar yakin.

“Aku harus pergi, suatu saat kita pasti bertemu kembali”, ujar si burung jambul merah tersenyum ke arah si burung kecil berjambul kuning sambil mengepakkan sayap, menukik dan terbang ke arah senja di ufuk barat.

Si burung kecil berjambul kuning menatap kepergian sahabatnya itu hingga ia benar – benar menghilang di balik senja. Si burung kecil berjambul kuning menunduk diam, dan memikirkan perkataan sahabatnya.

Benarkah seperti itu juga? Kata si burung berjambul kuning dalam hati. Perlahan ia pun terbang dan hinggap di atas sebuah ranting pohon yang dibawahnya terdapat kolam yang cukup jernih.

Si burung kecil berjambul kuning menatap dirinya dalam pantulan air yang diterangi temaram cahaya rembulan. Ia takjub pada dirinya sendiri. Dalam waktu cukup lama dan tidak singkat, rupanya ia telah banyak berubah.

Ia tersenyum menatap dirinya sendiri. Kemana saja dirinya selama ini, tidak menyadari sedemikian besar sudah perubahan yang terjadi dalam dirinya, walaupun ia masih si burung kecil yang mungil. Sekian lama ia terdiam menatap dirinya sendiri, namun ia merasa sedikit ragu.

“Kau tidak akan tahu jika tidak melakukannya sendiri. Tapi satu hal yang pasti, kau belum cukup siap untuk itu”, ujar kata hatinya.

Itulah kenyataan yang ia alami saat ini, ia merasa belum cukup siap, itu saja. Si burung kecil berjambul kuning kembali diam.

Si burung hantu mendekatinya. Ia menatap si burung berjambul kuning.

”Jangan pernah ragu dengan apa yang hendak kau lakukan. Kau harus mantap, kau harus tegas dan kau harus kuat. Di luar sana terlalu banyak hal – hal tak terduga, tidak seperti yang pernah kau temukan dalam kelompok ini. Di luar sana, kau adalah dirimu sendiri. Tak ada yang membantumu, tak ada yang menolongmu, dan tak ada yang menghiraukanmu”.

Dia benar, aku belum cukup kuat untuk sendiri, aku belum cukup kuat untuk melakukan semuanya sendiri. Aku belum cukup tangguh menghadapi cobaan dan resiko sendiri. Aku juga belum cukup mantap dengan keputusanku sendiri.

Suatu hari kelompok si burung Garuda terbang bersama – sama bermigrasi bersama – sama. Di tengah jalan kelompok mereka berpapasan dengan kelompok lainnya. Saat itu si burung berjambul kuning melihat sosok yang sangat di kenalnya dalam kelompok itu. Dia adalah si burung jambul putih.

Si burung jambul putih sudah banyak berubah hingga si burung jambul kuning pun susah mengenalinya. Kini dia tampak jauh lebih dewasa, gagah, tangguh, dan kuat. Si burung jambul putih melambai padanya.

Suatu ketika, si burung jambul kuning mempunyai kenalan baru yang memiliki latar belakang sama sepertinya dulu, tanpa teman dan sebatang kara. Dia adalah si burung hitam berjambul putih. Si burung hitam berjambul putih begitu cepat belajar. Hingga suatu ketika si burung hitam berjambul putih begitu cepat bertemu dengan pasangannya dalam kelompok itu. Mereka hidup berbahagia walaupun masih bergabung dalam kelompok itu.

Setelah beberapa hari, baru kemudian dia benar – benar mulai tersadar. Sekian lama bersama dalam kelompok itu benar – benar telah menyadarkannya. Ia bukan lagi si burung kecil berjambul kuning yang dulu tidak tahu apapun. Kini ia adalah si burung berjambul kuning yang telah banyak belajar dan siap untuk terbang sendiri seandainya ia mau mencoba.

Si burung kecil berjambul kuning sadar bahwa walaupun tubuhnya masihlah kecil, namun otak dan caranya berpikir tak lagi sekecil dulu. Dia masih memiliki jambul kuning di dahinya. Dia memiliki sayap lebar dan gagah. Paruhnya pun tak lagi serapuh dulu. Sayapnya pun kini mengepak lebar. Sebenarnya dia sudah cukup tangguh. Dia memang sudah siap untuk hidupnya sendiri, untuk masa depannya.

”Aku benar- benar siap”, ujarnya mantap.

”Apakah kau sekarang benar – benar mantap dengan keputusanmu?”, tanya si burung Garuda suatu ketika.

Si burung jambul kuning mengangguk sembari berkata,”Aku benar – benar siap dan mantap”. Dia menatap si burung Garuda dan si burung hantu secara bergantian.

Si burung Garuda diam, begitu pula si burung hantu. Si burung Garuda menatapnya dengan serius.

”Kalau begitu pergilah!”, kata si burung Garuda tiba - tiba.

Si burung hantu menoleh, keduanya saling bertatapan. Ada sebuah keyakinan dari sorot mata si burung Garuda. Ia pun mengerti. Ia mendekati si burung kecil berjambul kuning.

”Pergilah anakku dan temanku, semoga kau di luar sana menjadi burung yang tangguh dan bersajaha, seperti yang kau impikan selama ini”, ujar si burung hantu sambil menepuk pelan punggung si burung berjambul kuning.

Si burung berjambul kuning menoleh. Ia menatap si burung Garuda dan si burung hantu bergantian. Tapi ia yakin, keduanya kini mengerti keinginannya.

"Memang sudah saatnya untuk kau mengepakkan sayapmu bersamaan. Melompatlah dari kaki mungilmu itu dengan mantap, tanpa keraguan. Hanya satu pesan untukmu, janganlah terbang terlalu tinggi dulu untuk mengetahui kondisi fisikmu. Kau harus tahu dimana batas kemampuanmu dan kau harus bisa mengatasinya itu sendiri dari sekarang. Terbang rendahlah dulu supaya selanjutnya kau bisa terbang lebih tinggi. Kalau sudah terbiasa terbang rendah, untuk terbang lebih tinggi lagi akan jauh lebih mudah asalkan kau punya keberanian dan keyakinan pada dirimu sendiri", kata si burung hantu berpetuah.

Si burung jambul kuning menggenggam tangan si burung hantu. ”Terima kasih”, ujar si burung jambul kuning lirih dengan tatapan yang berbinar - binar. Untuk terakhir kalinya, ia tersenyum pada keduanya seraya berpamitan. Si burung jambul kuning pun akhirnya mengepakkan sayap kecilnya lebar – lebar.

Si burung jambul kuning tersenyum lega untuk pertama kali dalam hidupnya.

”Selamat tinggal teman – temanku, selamat tinggal sahabat – sahabatku, selamat tinggal semua. Terima kasih semuanya, semua yang telah kita bagi bersama, semua yang telah kita perjuangkan bersama, semua yang telah kalian ajarkan, semua bimbingan dan dukungan kalian. Maafkan atas semua kesalahanku dan apapun yang telah membuat kalian tak berkenan karena ulahku. Aku benar – benar berterima kasih untuk semuanya”, ujarnya sembari menoleh sekali lagi ke arah kelompok itu.

Seluruh koloni menyemangati dirinya. Si burung jambul kuning pun semakin tegar dan yakin.

Memang terasa berat meninggalkan koloni itu. Namun si burung jambul kuning yakin, suatu saat ia akan bisa melihat koloni itu lagi, namun dengan keadaan dirinya yang akan jauh berbeda dari dia saat masih bersama koloni itu.

Si jambul kuning kini terbang sendiri, ia bebas menentukan arahnya sendiri.

Kini, ia pun terbang semakin jauh menjelajah bebas menuju cakrawala di ufuk barat, menyongsong hidupnya yang baru.







*** Finish ***









*** Siapakah si burung berjambul kuning? ***



*) Untuk sahabat - sahabatku, terima kasih atas kontribusinya sehingga "naskah" ini, akhirnya terselesaikan ... ^^




supported image: http://www.gettyimages.com

Other Blog

Followers

Search This Blog