Monday, December 13, 2010

Rendezvous




Rendezvous ...
You said so and you asked me to
Now, it's due date and due time
What you're thinking of?

You leave me in disguise
Totally unfair
Totally confusing
Another game you're playing?

Now, it drives me nerves
Just do what you think is good
And without having my permission
Will it be happen?

Dear God, please listen to me ...
What you've done to me?
Everything is nothing
except the fully foolish mind
Gosh, hate me no more!


*****

*) 2010-12-14, pada sebuah hidden sanctuary, temaramnya pagi hari dan kegalauan hati ... Sebuah puisi yang juga ku peruntukkan kepada seorang sobat, Suci di pedalaman ibukota Tabanan ... :D

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Friday, December 3, 2010

THE ROAD NOT TAKEN


by: Robert Frost (1874-1963)
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;

Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,

And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I--
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

*****

The Road Not Taken" is reprinted from Mountain Interval. Robert Frost. New York: Henry Holt, 1921. http://www.poetry-archive.com/f/the_road_not_taken.html

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Ode to the Nightingale (John Keats)


My heart aches, and a drowsy numbness pains
My sense, as though of hemlock I had drunk,
Or emptied some dull opiate to the drains
One minute past, and Lethe-wards had sunk:
'Tis not through envy of thy happy lot,
But being too happy in thine happiness, -
That thou, light-winged Dryad of the trees,
In some melodious plot
Of beechen green and shadows numberless,
Singest of summer in full-throated ease.

O, for a draught of vintage! that hath been
Cool'd a long age in the deep-delved earth,
Tasting of Flora and the country green,
Dance, and Provençal song, and sunburnt mirth!
O for a beaker full of the warm South,
Full of the true, the blushful Hippocrene,
With beaded bubbles winking at the brim,
And purple-stained mouth;
That I might drink, and leave the world unseen,
And with thee fade away into the forest dim:

Fade far away, dissolve, and quite forget
What thou among the leaves hast never known,
The weariness, the fever, and the fret
Here, where men sit and hear each other groan;
Where palsy shakes a few, sad, last gray hairs,
Where youth grows pale, and spectre-thin, and dies;
Where but to think is to be full of sorrow
And leaden-eyed despairs,
Where Beauty cannot keep her lustrous eyes,
Or new Love pine at them beyond to-morrow.

Away! away! for I will fly to thee,
Not charioted by Bacchus and his pards,
But on the viewless wings of Poesy,
Though the dull brain perplexes and retards:
Already with thee! tender is the night,
And haply the Queen-Moon is on her throne,
Cluster'd around by all her starry Fays;
But here there is no light,
Save what from heaven is with the breezes blown
Through verdurous glooms and winding mossy ways.

I cannot see what flowers are at my feet,
Nor what soft incense hangs upon the boughs,
But, in embalmed darkness, guess each sweet
Wherewith the seasonable month endows
The grass, the thicket, and the fruit-tree wild;
White hawthorn, and the pastoral eglantine;
Fast fading violets cover'd up in leaves;
And mid-May's eldest child,
The coming musk-rose, full of dewy wine,
The murmurous haunt of flies on summer eves.

Darkling I listen; and, for many a time
I have been half in love with easeful Death,
Call'd him soft names in many a mused rhyme,
To take into the air my quiet breath;
Now more than ever seems it rich to die,
To cease upon the midnight with no pain,
While thou art pouring forth thy soul abroad
In such an ecstasy!
Still wouldst thou sing, and I have ears in vain -
To thy high requiem become a sod.

Thou wast not born for death, immortal Bird!
No hungry generations tread thee down;
The voice I hear this passing night was heard
In ancient days by emperor and clown:
Perhaps the self-same song that found a path
Through the sad heart of Ruth, when, sick for home,
She stood in tears amid the alien corn;
The same that oft-times hath
Charm'd magic casements, opening on the foam
Of perilous seas, in faery lands forlorn.

Forlorn! the very word is like a bell
To toll me back from thee to my sole self!
Adieu! the fancy cannot cheat so well
As she is fam'd to do, deceiving elf.
Adieu! adieu! thy plaintive anthem fades
Past the near meadows, over the still stream,
Up the hill-side; and now 'tis buried deep
In the next valley-glades:
Was it a vision, or a waking dream?
Fled is that music: - Do I wake or sleep?




*****

Source: taken from the collection of John Keats

http://englishhistory.net/keats/poetry/odetoanightingale.html

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Monday, November 15, 2010

Kangen


Semalam walau hanya desir angin yang lembut dan derik serangga malam yang terdengar, ku masih bisa mengurai pelan sebuah ilustrasi waktu yang tersisa, 'tuk ku bingkai menjadi alunan melodi akan sebuah kerinduan pada masa yang sunyi dan dingin, dari keriuhan yang selalu menemaniku dengan dengus lenguh nafas yang terengah akan gerak gemulai tubuhku mengikuti irama yang berdentum...

Jujur aku jenuh dan tersungkur dalam kebosanan yang nyata...

Aku rindu akan sunyi, akan sepi, akan dingin dan akan semua yang bisa kuraih dalam gelitik rentan kesendirian yang panjang...

Kapan!!!

Aku muak dengan semua kemunafikan yang selalu hadir menyapaku dan menyentuhku aku jijik!!!

Aku ingin pergi dengan semua ini ke tepi, bukan ke tengah yang buat aku tidak sadar kalau aku hanya sampah yang bau...

Aku ingin wangi sewangi dulu seharum aroma kelelakianku yang sekarang sirna berbau sedap malam yang hanya hadir di antara malam saja...

Tendang aku ke tepi dan raih aku dengan jemarimu yg tulus ...

*****

*) Didik Aat, sebuah kiriman tertanggal 11/24/2008 12:37 pm

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Love Can Kill You and It Can Give You a Life


berjalanlah,
dalam pelupuk desah
yang merayap ditepi dinding hati yang merajai sepi
berjalanlah,
demi sepenggal waktu
dan sedetik kisah
tertuang dalam denting yang berdetak
dan rintihan yang terukir
dalam detik yang menanti
kurajai sepi yang menepi
ditepi balutan belulang kisah kasihku
aku tak pernah terasingkan walaupun terasing telah mengasingkanku
aku tak pernah terpuruk walaupun keterpurukan telah memurukku
aku hanya memandang, tanpa keinginan untuk melihat
kosong memang, tapi aku telah menemukan sesuatu
kecil memang, tapi dia yang menuntunku menemukan keindahan ...

*****

*) Didik Aat, sebuah kiriman tertanggal 11/13/2008 1:45 pm

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

malam yg panjang........o0o... engah yg letih


diawalai dari hembusan angin sore yg kering dan panjang.... dengan gontai melangkah mungil dedaunan kering diantaranya,sesekali berputar mengurai letih di ujung pepohonan yg mulai terjerat gelap remang.....dari tepian pulau desiran timur laut membagi basah yg bisa dirasa,sekalipun acuhmu abaikan hadirnya...!? bagai padu menjadikan udara terasa lebih berat dan hangat... beranjak dari terang yg memukaukan kilauan cahayanya kini gelap adalah segalanya di semua sudut dan celah,... malam telah tiba bisik raga tiada sedikitpun bimbang menyertainya ,seperti kemaren dan keyakinan akan esok,dapatkah tergetar seluruh sukma akan celoteh kisah yg tertulis, tersentuhkah bibir membacanya,terpikatkah hati menyelami setiap maknanya,......bermula dari percaya akan semua ajaran tentang menjaga ,terbersit di lingkaran hati pemahaman yg sulit menafsirkan setiap balutan sayap2 asmara.....asmaramu terbang kemana dengan harum dan elok rupa yg dipenuhi gairah goda....,asmaranya akan hinggap dimana yg memukau dengan setiap desah dan sentuhan kepakannya yg getarkan jiwa....,asmaraku relakah bila hanya berpijak diantara semua wangi dan ranum satu bunga,...please,!!sampai kapankah pemahaman semua awal ini akan terhenti menjadi akhir yg bertiarakan kesetiaan dan berpermata pengertian,....aku kau dan dia yakin dalam keyakinan yg maha dasyat, bahwa semua yg terurai di antara gelapnya malam hanyalah bagian mungil yg sulit tuk di lewati....walau seberapa keras usahamu menyibak tabir....sekeras itu pula kau aku dan dia hanyalah dedaunan kering yg mudah terbawa angin suka atau tidak kan tetap berputar, melompat, merayap,terus dan selalu menelusuri semua daratan hingga terhenti di sebuah titik ..... namun sebelum semua berhenti di sana adakah tergerak semua pemikiran bahwa senandung semua alunan melodi hanyalah kisah dari ribuan jenis kasih,...ahhhh kuasa ku kau dan dia hanyalah kuasa yg sempit dan terhimpit dalam seberapa besar penerimaanmu..... dan gelap yg panjang inipun takkan sanggup menampung semua kisah kasih ,namun keyakinan tetaplah keyakinan,dan jagalah itu seperti belajarnya waktu mengalahkan langkah2 mungil ini..... dan nikmati engah yg letih dengan tulus,...bila suatu hari nanti tiba saatnya,... semua ini hanyalah tentang awal saja....... diamlah dan nikmati,

*****

*) <04/29/2008 4:22 pm>

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Hening


diremangnya gemulai malam yang dingin, aku menapaki betapa sunyi ... semampai kerlip peron taman menerobos gelap yang terselip diam ... dan sekali lagi netra raga ini meraba makna dari sekumpulan resah ... dan membiarkan dahaga yang membuncah menyibak geming hati yang tergores .... dan semenjak itu menyatulah engkau yang di singgasana awan ... menyatulah engkau yang selalu tersaput embun embun .... menyatulah walau gigil menyelimuti rusuk - rusuk .... dan biarkan iga - iga mencari nikmatnya rasa sakit yang begitu sempurna ... dan kala tertemukan nikmatnya ... diamlah diam ...

*****

*) Didik Aat, sebuah kiriman tertanggal 04/12/2008 12:46 pm

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Halimunan (Salah Satu Kamar di LP Kerobokan)


entah.......... kenapa tiada dapat kutemukan bingkai malam yg tepat .... begitu mudah dan cepat ia berlalu meninggalkan sekumpulan embun yg kesiangan ..... begitu mudah dan cepat ia berlalu meninggalkan sekumpulan dingin yg tersesat di ruang kamar ini..... begitu gelinya netra ini melirik mereka bergegas mengejar kumpulan yg lain dan saling mengejar dalam riuh berdesakan saling medahului... dan terdengar lirih teriakan dari ujung kamar yg mulai terasa sepoi angin pagi berteriak lirih...."hoiiiiiiiii tenang ,,, kawan jangan biarkan dirimu saling menyakiti dalam ketakutan lihat di luar sana kumpulan embun masih dalam buaian bumi dan buaian lembutnya sentuhan dedaunan,dan liahatlah keatas pula tiadakah kalian lihat suryapun masih enggan menapaki awan2 yg menggumpal dan kuat membalut surya yg kesiangan...!!"dan dalam sekejap suasana riuh menjadi hening dan perlahan bisa kurasakan kering nya udara mulai menyeruak menepis satu2 sejuknya pagi yg mulai meregang dan raga inipun sadar siang telah meregang dalam tegangnya siang yg panjang....... ahhhhh seluruh letih ini perlahan mulai menyapa dalam setiap gerak dari bagian yg lain..... dan di ujung yg lorong yg laik mulai terdengar cengkrama yg biasa terdengar.......... ANDAI SAJA RAGA DAN JIWA INI TIDA PERNAH BUTA AKAN DUNIA TENTU LAH RUANGAN INI TIADA PERNAH MERANGKAP AKU DALAM PERJALANAN YG TERHENTI....... seperti biasa dan biasa dan hari demi hari waktu dan derak detiknya aku hanya meniti dalam pijakan yg melangkah dalam diam............ diam dan diam diam diam diam.......

*****

*) <04/12/2008 1:37 pm>

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Ku Menunggu apa yang Ku Tunggu


Semua yang aku nanti hanya kiasan dalam rupa warna di ujung kemilau pelangi, pelangi pagi yang hangat. Semalaman hujan menyapu langit yang hitam di antara cumbuan rembulan yang tersaput awan, diam di belenggu embun yang mulai menggigil, terbersit dalam sepi sebuah bisikan menuduh peluh yang terengah, terasa mengoyak nafas dengan dentingan perih di antara kisah kasih malam ini namun kini sudah pagi, tersambut dengan rentetan pelangi yang hangat nan berwarna, mengiringi embun yang beranjak dalam cumbuan aroma wangi tanah yang basah menyentuh raga dari sela celah ruang kamar, seolah semua yang terlewati adalah bagian yang terbagi, terurai diam sepucuk elok dari kidung burung - burung, menghantar kelembutan menyibak kelambu jendela kaca, terpampang sebelum sapa, tergetar sebelum terbuka, ternyata semua hanyalah bagian yang terlupa dari bagian detik yang berderik di sepanjang waktu dan di antara semua itu hanya ada kau, aku dan dia ....

*****

*) Didik Aat, sebuah kiriman tertanggal 03/25/2008 1:12 pm. Judul asli "Gue Menunggu Apa yang Gue Tunggu" sudah diedit oleh PU.

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Sunday, November 14, 2010

DO YOU BELIEVE?


I keep trying,
I keep hoping,
I keep praying,
For something I Believe

I always Believe,
there's always a path
which leads me to YOU

I always Believe,
there's always a way
which open me to YOU

I always Believe,
there's always unveiled thing
to reach YOU

I always Believe,
it just an unpublished story
about YOU

Everything's now is just a blind map I owned
Everything's now is just a labyrinth I stepped in
Everything's now is just a game I play
Everything's now is just puzzles I play
Everything's now is just a mystery I not known

But one thing I always Believe
the road I take is the only one
which always guide me to YOU
surely one day

Do YOU Believe?

*****

*) Denpasar 2010-11-13, in a cozy morning and hidden sanctuary

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Friday, October 29, 2010

Kata – Kata Ajaib *)


Kata – kata ajaib yang selalu kudengar ….

Setahun yang lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Sebulan yang lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Seminggu yang lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Masih saja tetap kudengar ….

Senin lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Selasa lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Rabu lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Kamis lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Jum’at lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Sabtu lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Selalu ku dengar ….

Satu jam yang lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Satu menit yang lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Satu detik yang lalu, “Ya, yang penting adalah sesuatu”

Maaf …

Tapi, haruskah ku mendengar ini untuk yang kesekian kalinya?

Tapi, haruskah ku menunggu sesuatu yang tak pasti?

Dan juga, haruskah ku mendengar hal ini “dinyanyikan” setiap hari?

Apalagi, haruskah ku menunggu hal yang tak jelas seperti ini?


Benar – benar kata – kata yang ajaib, untuk kesekian kalinya, akan terus dinyanyikan dan untuk kesekian kalinya akan tetap kudengar …


*****

*) Ubud, 2010-06-10

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Diam II *)


Kesadaranmu patahkan tangismu...

Iringan desak hati yang terbelenggu caci maki.

Makin dalam kamu larut dalam sedih...

Makin meradang dendam yang tertanam.

Laki-laki itu aku ...

Pria pemicu tumpahnya segala serapah dari mulutmu yang manis.

Bagai kicau burung membakar bibir yang tersulut emosi.

Dan aku hanya diam.

Juga hanya diam.


*****

*) Another 'updated status' taken from a friend in FB, Cheetoz, sometimes in Mid 2010. Hope I could create a short story based on this :D

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Thursday, June 10, 2010

DIAM *)


Aku akan duduk di sini … 

Dan diam ...

Tapi tangan – tanganku tidak diam ...

Kedua kakiku diam ... 

Jika Engkau memerlukan aku ...

Aku akan diam ...

Hingga Engkau datang padaku ...

 

Aku hanya akan duduk di sini ...

Dan diam ... 

Namun tangan – tanganku tak pernah diam ...

Kedua kakiku masih tetap diam ...

Jika Engkau meminta sesuatu ...

Aku hanya diam ...

Hingga Engkau datang padaku ...

 

Dan Engkau masih melihat aku duduk di sini ...

Hanya diam ...

Engkau lihat tangan – tanganku masih tak pernah diam ...

Hanya kedua kakiku yang tetap terdiam ... 

Jika Engkau menggangguku dan mendikteku “lagi”....

Maka aku tak bisa diam ...

Walaupun tanpa Engkau datang dan telponmu masih terus berdering ... 

Maka Aku akan bangkit berjalan mendekati Engkau ... 

Dan dengan lantang aku akan berkata ....

 

”JANGAN GANGGU AKU, AKU SEDANG SIBUK!” 

 

*) Ubud, 2010-06-09, 11:00 WITA – Balada sebuah ruang kerja, meja kerja dan kursi kerja, komputer yang terus bekerja, kamera pocket dan card reader yang berhenti bekerja, pena dan kertas kerja yang tergeletak tanpa reaksi, dan tanpa suguhan secangkir teh hangat ataupun sarapan pagi

*****

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

Friday, June 4, 2010

"Hening"


Saya sudah terlalu lelah, terlalu kesal, terlalu penat, terlalu capek, terlalu sumpek, terlalu bosan, bahkan terlalu tertekan untuk hal yang menjemukan ini, untuk hal yang tidak pernah saya mengerti ini, untuk hal – hal yang benar – benar tidak jelas ini.

 

Terlalu berat beban pikiran di kepala dan perasaan yang menguras energi dan stamina ini.

 

Atmosfer sekitar terasa begitu menyesakkan, terasa begitu menghimpit, terasa tak ada lagi ruang untuk bergerak bebas.

 

Biarkan saya berbaring sejenak, biarkan saya menghirup nafas lega sejenak, biarkan saya terbebas dari beban ini sejenak, biarkanlah saya seperti saat ini ….

 

Terbaring dalam diam, terbaring dalam kesunyian, terbaring dalam sepi, terbaring dalam senyap, tanpa terdengar kebisingan, tanpa terdengar gemerisik, tanpa terusik oleh apapun, bahkan tanpa cahaya yang menyusup.

 

Biarlah hanya saya dan diri saya saat ini, hanya denyut jantung dan nadi yang saling berdendang, hanya helaan nafas yang mengalun, hanya pikiran yang terdiam dan terkurung dalam hampa.

 

Biarlah jiwa – jiwa yang rapuh ini kini melebur dalam hampa, jiwa – jiwa yang rapuh melayang dalam angan, jiwa – jiwa yang rapuh terbang dalam sunyi, damai dalam sepi, damai dalam senyap, damai dalam diam …. Hening … Hening … Hening ….


*****

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

"Rasa Ini"


“Kau tiba – tiba hilang, sudah berhari – hari, apa engkau dapat pesanku?”

 

Saya merasakan kedekatan itu, rasa kangen yang menyelimuti, perasaan hangat dan nyaman tiap kali bisa kontak bahkan bercanda dengannya walaupun terpisah oleh jarak, waktu, musim, tempat, bahkan lautan. Kerinduan itu kian menumpuk jika bayangannya begitu apik tergambar dan melintas di benak saya. Salahkah jika saya memelihara perasaan ini? Saya selalu mencari tahu, berusaha berdamai dengan hati, tentang apa yang membuat saya benar – benar jatuh cinta padanya.

 

Pada akhirnya yang saya tahu, jawaban yang saya temukan, Dia adalah sosok yang apa adanya, dengan kedewasaan yang jarang saya temukan dari sosok sederhana seusianya. Saya selalu menginginkan seseorang untuk berbagi suka dan duka, bahagia dan sedih, bukan seseorang yang terjebak pada kedewasaan yang hanya akan menuntut saya untuk menjadi seseorang yang mereka mau. Bukan, bukan itu yang saya mau, bukan itu yang saya inginkan. Perasaan itu muncul tanpa sengaja, tanpa diminta ataupun tanpa diminta. 

 

“Temui aku, di tempat biasa, jangan kau terlambat, waktuku tak banyak”

 

Kini saya benar – benar harus membuka hati demi seseorang. Jika perasaan itu terbalas, lega sudah perasaan ini. Berbagi limpahan kebahagiaan dan cinta yang saya miliki selama ini. Dia yang bisa membuat saya mencinta lagi. Hanya Dia yang saya inginkan, bukan orang lain, hanya Dia dan Dia seorang.

 

Perasaan ini begitulah berharga bagi saya. Kesadaran pada apa yang sebuah kata dideskripsikan dan digambarkan sebagai cinta. Seperti kata Dia ketika itu, cinta bukanlah usia, bukan pula kasta, bukan lagi profesi, ataupun juga materi. Cinta adalah cinta, hanya seperti itu adanya, tak peduli apa deskripsi orang lain tentang definisi cinta. Bagi saya, cinta adalah cinta.

 

Cinta itu muncul dari kedekatan saya dengan Dia, dengan dirinya sekarang, dirinya saat ini yang saya kenal, sosok sederhana dengan karakter Dia yang apa adanya. Itulah Dia, hanya Dia, hingga kapan pun.

 

“Dan ku menunggu, terus menunggu, hanya untuk memelukmu seeratnya, terus berharap kau kan datang secepatnya, secepatnya“

 

Kini saya masih menantikan saat dimana perasaan itu bisa saya ungkapkan padanya, perasaan yang masih terpendam, yang menunggu saat – saat terindah untuk diucapkan. Semoga harapan itu, kali ini, tidak lagi membuat saya kecewa untuk kesekian kalinya.

 

Harapan itu kian menumpuk tatkala saya semakin mengingat Dia. Kehadirannya benar – benar hal yang saya ingin terwujud.

 

“Aku takkan bisa, bila kau tak dating, semangatku, hanya tinggal saat ini”

 

Kini, belakangan ini, saya benar – benar menyadari, suka ataupun tidak suka, saya tidak, saya tidak bisa tidak mengelak ataupun berdusta pada diri sendiri, bahwa tiap hari, saya benar – benar mendambakan dia, saya jatuh cinta kepadanya. Saya menggeram jika saya mengingat Dia, merindukan Dia tiap pagi, menginginkan dirinya untuk saya peluk, saya belai, saya kecup.

 

Astaga!


Sebegitu dalamnyakah saya mencintai Dia? Menginginkan dan mendambakan Dia.


Apakah Dia juga mengalami hal serupa? Apakah ini perasaan sesaat yang sewaktu – waktu bisa berubah? Tapi saya tidak mau kehilangan untuk ketiga kalinya. Perasaan ini begitu berharga dan tak ternilai.


Apakah Dia yang akan menjadi pelabuhan hati terakhir saya? 

Saya sudah letih menunggu, saya juga sudah letih mencari dan memburu, namun saya tak mau kecewa lagi ... 



*****

Inspired by Audy “Aku Takkan Bisa”

Supported image by: http://www.gettyimages.com OR http://www.arenaphotographers.com

“Bening”


Sejenak dalam diam, sejenak dalam sepi, sejenak dalam sunyi, sejenak dalam hening, terdengar percikan kecil yang begitu menenangkan, yang kini membuai diri dalam angan, terbuai dalam khayalan, terbuai dalam mimpi, dan membuat diri seolah – olah enggan untuk bangkit lagi ….


Dalam diam yang terdengar hanya satu, dua, tiga, begitu seterusnya.

 

Sinar pagi menyeruak mimpi, hembusan angin pagi membelai wajah, embun pagi menyapa dengan kesegarannya, menyadarkan diri untuk segera bangkit, menyadarkan diri untuk beranjak dari mimpi semu yang melenakan ….


*****

Supported image from: http://www.gettyimages.com

Tuesday, May 25, 2010

Letter for God

Dear God,

Why Do I Cry? It was a lot of things I wrote in my small diary, my beloved little friend. Mostly, that was something I don't like and something I like, about me, my family, and my surroundings which happened within this year.


Then, I realized, why I should bother those silly ridiculous things. In fact, they've given me, so much loves I got from them. While, I even give nothing yet to them, for what they've done to me so far. I saw the loving couples in that celebration of Love. I smiled.

Those couples celebrated their love. Love and fun, happily ever after. But I celebrate love with this family and with God of course. That's what I mostly grateful for. I remembered, two days in the end of November were my most wonderful days. A full package of happiness that I don't want to lose none of it.

Then, “a friend inside of me just said, “Are you ready to share your abandoned love with someone now?”. I just smile, she actually knows the answer, but always reminds so, over and over again.

Thanks God for Your so many gifts and blessings for me, my family, my friends, and for those who already shared love for me yesterdays, today, and tomorrows.


With everlasting love and gratitude,



Sunday, May 23, 2010

FarmVille Chapter 3 - Winter O Winter, Happy Holiday!


Beberapa minggu kemudian, rupanya musim dingin tengah menyelimuti Farmville. Bahkan hampir semua ladang di Farmville, kini tertutup salju. Dingin begitu menyengat. Namun aktivitas ladang masih tetap berjalan.


”Sebentar lagi Natal”, ujar Eitri.

“Oya?”, tanya Myrella. Dia bahkan agak lupa, karena di negerinya dulu, sama sekali tidak pernah turun salju.

“Tapi kita masih bisa berladang, kan?”, tanya Myrella penasaran.

“Tentu saja. Lihatlah di luar sana, hewan ternak masih bisa bertahan hidup walaupun di musim dingin begini”, sahut Eitri.

“Apakah kamu juga ingin memasang pohon Natal sekarang?”, tanya Dimitri melongok ke luar jendela.

“Oya, aku mendengar salah satu tetangga kita sudah memasang pohon natal di luar, dan telah menerima banyak kado natal, entah kiriman dari siapa”, ujar Eitri.

“Kado Natal?”, ujar Myrella. “Pasti seru!”, pekik Myrella berbinar - binar.

Dia berjalan keluar dan menghampiri meja piknik. ”Apakah disini cocok untuk tempat pohonnya?”, seru Myrella kepada kedua Dwarfling.

”Ya, OK!”, jawab keduanya.

Kemudian, Myrella merogoh ke dalam kantong ajaibnya.

”Voila!”, ujarnya. Sebuah pohon kecil kini sudah berdiri di tengah – tengah halaman pondok.

”WOW!”, seru para Dwarfling.

”Tapi kita perlu kado natal supaya pohon ini bisa tumbuh besar”, kata Dimitri.

”Begitukah?”, ujar Myrella.

Pada keesokkan harinya, Myrella menerima begitu banyak kado natal dari teman – temannya. Ini juga kejutan bagi para Dwarfling. Kado – kado itu dimasukkan ke dalam pohon dan nanti bisa mereka buka jika sudah penuh. Setiap hari, selalu ada kado baru yang dikirim teman – temannya. Myrella senang sekali, begitu pula para Dwarfling.

Namun di saat mereka tengah asyik menghias ladang mereka dengan nuansa Natal, tiba – tiba muncul sekelompok prajurit tinggi yang entah darimana munculnya. Mereka hendak merusak dan menghancurkan ladang milik Myrella.

”Ladangku!”, teriak Myrella berhambur hendak mengusir para prajurit tersebut.

”Ini pasti perbuatan Mystique!”, teriak Dimitri sembari mengambil parang dan berhambur hendak mengusir para prajurit tinggi tersebut.

Namun rupanya disana sudah tampak seorang Dwarfling lain bertopi hijau yang telah lebih dahulu menolong mereka dengan melawan para prajurit tersebut. Dia mengeluarkan magic yang seketika bisa mengubah para prajurit jangkung itu menjadi patung.

”Jangan kemari! Diam kalian disana!”, cegah Dwarfling tua tersebut.

Eitri dan Dimitri berhenti sejenak. Mereka berdua tiba – tiba teringat sesuatu.

“Itu bukankah, Druid, Dwarfling kepercayaan Mystique?”, seru Eitri saat menyadari Dwarfling si ahli sihir tersebut yang tak lain ternyata salah satu kepercayaan Mystique.

Dwarfling itu mengeluarkan ilmu magic yang sama sekali tidak pernah dilihat oleh Myrella sebelumnya. Namun kekuatan magic itu sama sekali tidak mampu mengusir semua prajurit tinggi tersebut karena mereka kalah kuat dan jumlah. Prajurit itu dua kali lebih tinggi dari para Dwarfling dan bahkan lebih tinggi dari Myrella.

Bagaimana mungkin Druid bisa mengalahkan prajurit – prajurit itu seorang diri, pikir Myrella.

Namun Druid tidak menyerah. Rupanya hanya beberapa prajurit jangkung yang bisa diubah menjadi patung. Yang lain lari tunggang langgang.
”Dengan begini mereka setidaknya tidak bisa melakukan apapun”, kata Druid.

”Para prajurit itu tidak bisa melakukan apapun sekarang”, ujar Myrella.

”Kalian bisa melakukan apapun kepada mereka, tapi jangan berbuat keterlaluan”, ujar Druid.

”Apa yang hendak kalian lakukan pada kami?”, tanya salah seorang prajurit itu.

”Harus ada hukuman untuk anak nakal”, ujar Dimitri dan Eitri serentak. Ketiganya memandang Myrella.

Myrella termangu – mangu sambil berpikir. ”Kita perlu penjaga kan? Nah, bagaimana kalau kita letakkan mereka di depan gerbang saja. Bagaimana?”, kata Myrella mengusulkan.

”Mystique lemah terhadap pohon Natal dan cemara, itu sebabnya sebaiknya kalian meletakkan beberapa pondasi sudut ladang dengan pohon Natal”, ujar Druid.

”Hey, mengapa sekarang kau jadi memerintah kami?”, tanya Dimitri.

”Sudah tidak ada waktu lagi, cepat letakkan mereka di depan dan taruh beberapa pohon Natalnya, SEKARANG!”, teriak Druid kepada kedua Dwarfling tersebut.

Keduanya berhambur dan menggotong beberapa pohon Natal dan para prajurit tersebut bergantian.

”Terima kasih atas bantuannya”, kata Myrella tersenyum.

Druid menoleh. ”Jadi, kau adalah adik Mystique?”, tanya Druid.

”Begitulah”, kata Myrella sedih.

”Mystique telah merampas buku sihirku, kemudian membuangku ke tempat ini”, kata Druid.

”Aku juga tidak bisa kembali ke tempat asalku lagi sekarang”, ujar Myrella sedih.

”Seandainya aku bisa mengembalikanmu, pasti akan kulakukan, tetapi aku sudah tidak punya kekuatan seperti dulu”, ujar Druid menatap Myrella.

”Tidak apa – apa”, sahut Myrella. ”Di sini, aku malah lebih senang. Walaupun awalnya kukira aku sendiri tapi ternyata aku bertemu teman – teman baru yang senasib dengan aku”.

”Benarkah?”, tanya Druid tidak percaya. ”Rupanya Mystique membuang semua orang – orang yang tidak diinginkannya lagi. Keterlaluan!”.

Druid menghentakkan kakinya ke salju dan sempat membuat getaran yang mengagetkan Dimitri dan Eitri.

”Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan sekarang?”, tanya Myrella.

”Entahlah, mungkin aku akan mencari tempat baru untuk kutinggali”, sahutnya.

”Bagaimana, kalau kau tinggal bersama kami, disini bersama – sama Eitri dan Dimitri juga”.
Dimitri dan Eitri melompat kaget. ”Apa? Dia juga tinggal disini?”.

”Tentu saja, kita adalah keluarga kan?”, Myrella tersenyum sambil menyeret Druid menghampiri Eitri dan Dimitri.

Eitri dan Dimitri terkekeh sambil bersulang dengan gelas bir mereka "Happy Holiday!". 

Semuanya pun tertawa. 

Hari itu, di tengah – tengah hamparan salju, semuanya bergembira ria. Tidak hanya mensyukuri bila mereka telah selamat dari gangguan Mystique, tetapi juga kedatangan anggota baru. Druid menjadi keluarga baru.

***** To be continued to Chapter 4 ***** 


Other Blog

Followers

Search This Blog